Pengertian Kejadian Luar Biasa (KLB)


Pengertian Kejadian Luar Biasa (KLB)
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Disamping penyakit menular, penyakit yang juga dapat menimbulkan KLB adalah penyakit tidak menular, dan keracunan. Keadaan tertentu yang rentan terjadinya KLB adalah keadaan bencana dan keadaan kedaruratan.

Suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
  1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
  2. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
  3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
  4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
  5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
  6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
  7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Meliputi : penyelidikan epidemiologi; penatalaksanaan penderita, yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat KLB/wabah; penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya penanggulangan lainnya, mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1501/Menteri/Per/X/2010.

Program Penanggulangan KLB adalah suatu proses manajemenpenanggulangan KLB yang bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat

Pengertian Kejadian Luar Biasa (KLB)

Program Pengendalian KLB Penyakit Menular Dan Keracunan Pangan

Program Pengendalian Klb Penyakit Menular Dan Keracunan Pangan
Sebagaimana pada umumnya, suatu program harus mengikuti siklus manajemen yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan monitoring/evaluasi.

1. Perencanaan
Perencanaan merupakan inti kegiatan manajemen, karena semua kegiatan manajemen diatur dan diarahkan oleh perencanaan tersebut. Dengan perencanaan tersebut memungkinkan para pengambil keputusan atau manajer untuk menggunakan sumber daya mereka secara berhasil guna dan berdaya guna. Dalam menyusun perencanaan untuk pengendalian KLB penyakit menular dan keracunan makanan dapat mengikuti tahapan penyusunan perencanaan sebagai berikut :

1) Lakukan analisis masalah
Yang dimaksudkan dengan analisis masalah adalah mempelajari secara cermat permasalahan yang ada terkait dengan pengendalian Kejadian Luar Biasa (KLB) yang selama ini terjadi di suatu wilayah. Analisis dapat diawali dengan kegiatan mengumpulkan semua data yang terkait dengan KLB tersebut kemudian data itu diolah dalam bentuk berbagai tampilan dan perhitungan-perhitungan. Dari pengolahan tersebut akan didapatkan daftar/listing masalah. Beberapa contoh masalah yang terkait dengan KLB dan keracunan misalnya :
  • KLB masih sering terjadi setiap waktu
  • Setiap KLB terjadi menyerang sejumlah besar penduduk
  • Setiap KLB terjadi memerlukan waktu lama untuk menghentikan
  • Setiap KLB terjadi selalu disertai korban meninggal yang cukup banyak
Dari serangkaian daftar masalah tersebut selanjutnya dicari akar penyebab dari masing-masing masalah. Banyak teori yang dapat digunakan untuk menelusuri akar masalah salah satunya memakai teori sirip ikan. Dari kegiatan ini pada akhirnya akan didapatkan daftar masalah yang dilengkapi dengan akar masalahnya.

2) Penetapan masalah prioritas
Setelah kita ketahui daftar masalah dengan berbagai penyebabnya, maka tugas selanjutnya
adalah menetapkan prioritas masalah. Banyak teori yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas masalah. Secara sederhana penetapan prioritas dapat dipertimbangkan beberapa hal dibawah ini:
  • Keseriusan masalah, yang dapat diukur dari dampak yang ditimbulkan misalnya angka kematian dan kecepatan penularan.
  • Ketersediaan teknologi atau kemudahan mengatasi masalah tersebut
  • Sumberdaya yang tersedia.
3) Inventarisasi alternatif pemecahan masalah
Seperti halnya identifikasi masalah dan penyebabnya, maka untuk alternatif pemecahan masalah juga perlu diawali identifikasi berbagai alternatif pemecahan masalah. Dari berbagai alternatif masalah tersebut kemudian ditetapkan alternatif pemecahan masalah yang paling prioritas. Untuk menetapkan prioritas alternatif pemecahan masalah dapat dipertimbangkan beberapa hal di bawah:
  • Efektif tidaknya alternatif pemecahan masalah tersebut
  • Efisien tidaknya alternatif pemecahan masalah tersebut
4) Menyusun dokumen perencanaan
Setelah kita tetapkan prioritas alternatif pemecahan masalah, maka langkah selanjutnya adalah menuangkan hal-hal tersebut dalam dokumen perencanaan. Dokumen perencanaan sebaiknya ditulis secara detail/rinci, agar setiap orang dapat memahami dengan mudah dari isi perencanaan tersebut. Beberapa komponen penting yang sebaiknya ditampung dalam dokumen perencanaan adalah sebagai berikut:
  • Target/tujuan yang akan dicapai (sebaiknya memenuhi SMART : specific, measurable, achievable, reliable, timely)
  • Uraian kegiatan yang akan dilaksanakan
  • Dimana kegiatan akan dilaksanakan
  • Kapan kegiatan akan dilaksanakan (jadwal waktu pelaksanaan)
  • Satuan setiap kegiatan
  • Volume setiap kegiatan
  • Rincian kebutuhan biaya setiap kegiatan dan dari mana sumber biaya akan diperoleh.
  • Ada petugas yang bertanggung jawab terhadap setiap kegiatan
  • Metoda pengukuran keberhasilan
2. Pelaksanaan
Pada prinsipnya tahap pelaksanaan adalah tahap implementasi dari dokumen perencanaan. Oleh karena itu pada tahap pelaksanaan yang terpenting adalah menggerakkan seluruh komponen perencanaan, sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan. Mengkoordinasikan semua pihak/orang-orang yang bertanggung jawab dari setiap kegiatan, sehingga terjadi koordinasi dan kerjasama yang optimal. Hal-hal yang perlu diwaspadai pada tahap pelaksanaan ini adalah:
  • Kemungkinan tidak tepatnya waktu pelaksanaan seperti yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan dari sebagian atau keseluruhan kegiatan.
  • Kemungkinan tidak terjadinya koordinasi antar kegiatan
  • Pemahaman yang berbeda dari penanggung jawab kegiatan
3. Pengendalian (monitoring/supervisi)
Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang dapat mengancam pencapaian tujuan dari perencanaan tersebut maka diperlukan kegiatan monitoring secara kontinyu selama kegiatan berlangsung. Setiap kegiatan harus dilakukan supervisi secara rutin dan berkesinambungan. Supervisi dilakukan bukan berarti tidak percaya kepada pananggung jawab kegiatan namun semata-mata untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan benar-benar dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan.

Program Pengendalian KLB Penyakit Menular Dan Keracunan Pangan

Penyakit Antraks

Penyakit AntraksPenyakit Antraks adalah termasuk salah satu penyakit Zoonosa yang disebabkan oleh Bacillus anthracis terutama pada hewan memamah biak (sapi dan kambing). Penyakit Antraks atau disebut juga Radang Lympha, Malignant pustule, Malignant edema, Woolsorters disease, Rag pickersdisease, Charbon. Kata Antraks dalam bahasa Inggris berarti Batubara, dalam bahasa Perancis disebut Charnon, kedua kata tersebut digunakan sebagai nama penyakit pada manusia yang ciri utamanya ditandai dengan luka yang rasanya pedih, ditengahnya berwarna hitam seperti batu bara (Christie 1983).


Penyakit Antraks merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulakan wabah, sesuai dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1501 tahun 2010.Penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu yang diserang pada umumnya pekerja peternakan, petani, pekerja tempat pemotongan hewan, dokter hewan, pekerja pabrik yang menangani produk-produk hewan yang terkontaminasi oleh spora antraks, misalnya pabrik tekstil, makanan ternak, pupuk, dan sebagainya.
1. Gambaran Klinis
Gejala klinis antraks pada manusia dibagi menjadi 4 bentuk yaitu antraks kulit, antraks saluran pencernaan, antraks paru dan antraks meningitis.

a. Antraks Kulit (Cutaneus Anthrax)
Kejadian antraks kulit mencapai 90% dari keseluruhan kejadian antraks di Indonesia. Masa inkubasi antara 1-5 hari ditandai dengan adanya papula pada inokulasi, rasa gatal tanpa disertai rasa sakit, yang dalam waktu 2-3 hari membesar menjadi vesikel berisi cairan kemerahan, kemudian haemoragik dan menjadi jaringan nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi kerak berwarna hitam, kering yang disebut Eschar (patognomonik). Selain itu ditandai juga dengan demam, sakit kepala dan dapat terjadi pembengkakan lunak pada kelenjar limfe regional. Apabila tidak mendapat pengobatan, angka kematian berkisar 5-20%.

b. Antraks Saluran Pencernaan (Gastrointestinal Anthax)
Masa inkubasi 2-5 hari. Penularan melalui makanan yang tercemar kuman atau spora misal daging, jerohan dari hewan, sayur-sayuran dan sebagainya, yang tidak dimasak dengan sempurna atau pekerja peternakan makan dengan tengan yang kurang bersih yang tercemar kuman atau spora antraks. Penyakit ini dapat berkembang menjadi tingkat yang berat dan berakhir dengan kematian dalam waktu kurang dari 2 hari. Angka kematian tipe ini berkisar 25-75%.

Gejala antraks saluran pencernaan adalah timbulnya rasa sakit perut hebat, mual, muntah, tidak nafsu makan, demam, konstipasi, gastroenteritis akut yang kadang-kadang disertai darah, hematemesis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran kelenjar limfe daerah inguinal (lipat paha), perut membesar dan keras, kemudian berkembang menjadi ascites dan oedem scrotum serta sering dijumpai pendarahan gastrointestinal.

c. Antraks Paru-paru (Pulmonary Anthrax)
Masa inkubasi : 1-5 hari (biasanya 3-4 hari). Gejala klinis antraks paru-paru sesuai dengan tanda-tanda bronchitis. Dalam waktu 2-4 hari gejala semakin berkembang dengan gangguan respirasi berat, demam, sianosis, dispneu, stridor, keringat berlebihan, detak jantung meningkat, nadi lemah dan cepat. Kematian biasanya terjadi 2-3 hari setelah gejala klinis timbul.

d. Antraks Meningitis (Meningitis Anthrax)
Terjadi karena komplikasi bentuk antraks yang lain, dimulai dengan adanya lesi primer yang berkembang menjadi meningitis hemoragik dan kematian dapat terjadi antara 1-6 hari. Gambaran klinisnya mirip dengan meningitis purulenta akut yaitu demam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang umum, penurunan kesadaran dan kaku kuduk.

2. Etiologi
Bacillus anthracis,kuman berbentuk batang ujungnya persegi dengan sudut-sudut tersusun berderet sehingga nampak seperti ruas bambu atau susunan bata, membentuk spora yang bersifat gram positif.

Basil bentuk vegetatif bukan merupakan organisme yang kuat, tidak tahan hidup untuk berkompetisi dengan organisme saprofit. Basil Antraks tidak tahan terhadap oksigen, oleh karena itu apabila sudah dikeluarkan dari badan ternak dan jatuh di tempat terbuka, kuman menjadi tidak aktif lagi, kemudian melindungi diri dalam bentuk spora.

Apabila hewan mati karena Antraks dan suhu badannya antara 28-30 °C, basil antraks tidak akan didapatkan dalam waktu 3-4 hari, tetapi kalau suhu antara 5 -10 °C pembusukan tidak terjadi, basil antraks masih ada selama 3-4 minggu. Basil Antraks dapat keluar dari bangkai hewan dan suhu luar di atas 20°C, kelembaban tinggi basil tersebut cepat berubah menjadi spora dan akan hidup. Bila suhu rendah maka basil antraks akan membentuk spora secara perlahan-lahan (Christie 1983).

3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi dari penyakit antraks adalah 7 hari, pada umumnya berkisar antara 2–5 hari.

4. Sumber dan Cara Penularan
Sumber penyakit antraks adalah hewan ternak herbivora. Manusia terinfeksi antraks melalui kontak dengan tanah, hewan, produk hewan yang tercemar spora antraks. Penularan juga bisa terjadi bila menghirup spora dari produk hewan yang sakit seperti kulit dan bulu.

5. Pengobatan
Peniciline masih merupakan antibiotika yang paling ampuh, dengan cara pemberian tergantung tipe dan gejala klinisnya, yaitu:

1) Antraks Kulit
  • Procain Penicilline 2 x 1,2 juta IU, secara IM, selama 5-7 hari
  • Benzyl Penicilline 250.000 IU, secara IM, setiap 6 jam, sebelumnya harus dilakukan skin test terlebih dahulu.
  • Apabila hipersensitif terhadap penicilline dapat diganti dengan tetracycline, chloramphenicol atau erytromicine.
2) Antraks Saluran Pencernaan & Paru
  • Penicilline G 18-24 juta IU perhari IVFD, ditambahkan dengan Streptomycine 1-2 g untuk tipe pulmonal dan tetracyclin e 1 g perhari untuk tipe gastrointestinal.
  • Terapi suportif dan simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma expander dan regimen vasopresor. Antraks Intestinal menggunakan Chloramphenicol 6 gram perhari selama 5 hari, kemudian meneruskan 4 gram perhari selama 18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 gram perhariuntuk menghindari supresi pada sumsum tulang.
6. Epidemiologi
Antraks tersebar luas di seluruh dunia, antara lain Asia, Eropa Selatan dan Afrika. Di Indonesia pertama kali terjadi KLB antraks pada tahun 1832 di Kecamatan Tirawuta dan Moweng Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Penyebaran antraks pada manusia di Indonesia terdapat di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB dan NTT.

Saat ini daerah tertular Antraks di Indonesia menurut Dirjen Peternakan Kementan terdapat di 11 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat Jawa Tengah, DIY, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan, NTB dan NTT. Tetapi dari 11 provinsi tersebut yang dilaporkan ada kasus pada manusia hanya 5 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB dan NTT. Selama tahun 2009 telah dilaporkan kasus antraks pada manusia sebanyak 17 kasus 2 orang diantaranya meninggal (CFR 11,76%). Kedua penderita antraks yang meninggal tersebut adalah penderita antraks tipe pencernaan. Semua kasus berasal dari Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada tahun 2010 dilaporkan kasus Antraks sebanyak 28 kasus dengan meninggal 1 orang (CFR 3,6%) yang terjadi di Kabupaten Sragen Provinsi Jawa Tengah yaitu 24 kasus 1 orang meninggal dan Provinsi Sulawesi Selatan di Kabupaten Maros 3 kasus dan Kota Makassar 1 kasus.

Pada tahun 2011 sampai dengan bulan Juni dilaporkan kasus Antraks sebanyak 42 kasus dan tidak ada kasus yang meninggal. Kasus antraks terjadi di Kabupaten Boyolali dengan 14 kasus, Sragen 13 kasus, Pati 1 kasus dan Provinsi NTT terjadi 14 kasus

Penyakit Campak

Penyakit CampakPenyakit campak adalah penyakit menular dengan gejala bercak kemerahan berbentuk makulo popular selama 3 hari atau lebih yang sebelumnya didahului panas badan 380C atau lebih juga disertai salah satu gejala batuk pilek atau mata merah (WHO).


Definisi Operasional untuk surveilans Penyakit Campak di Indonesia adalah: adanya demam (panas), bercak kemerahan (rash), dan ditambah satu atau lebih gejala; batuk, pilek atau mata merah (conjungtivitis)

1. Gambaran Klinis
Campak mempunyai gejala klinis demam >38oC selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu atau lebih gejala batuk, pilek, mata merah atau mata berair. Gejala khas (patognomonik) adalah Koplik’s spot atau bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam (mucosa buccal). Bercak kemerhan/rash dimulai dari belakang telinga pada tubuh berbentuk makulopapular dan dalam beberapa hari (4-7 hari) menyebar ke seluruh tubuh. Setelah 1 minggu sampai 1 bulan bercak kemerahan berubah menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) disertai kulit bersisik.

Sebagian besar penderita akan sembuh, komplikasi sering terjadi pada anak usia <5 tahun dan penderita dewasa > 20 tahun. Komplikasi yang sering terjadi adalah diare dan bronchopneumonia. Penyakit campak menjadi lebih berat pada penderita malnutrisi, defisiensi vitamin A dan imun defisiensi (HIV) serta karena penanganan yang terlambat

Diagnosis banding yang paling menyerupai campak adalah Rubella (campak Jerman) yang ditandai dengan pembesaran kelenjar getah bening dibelakang telinga.

Klasifikasi kasus Campak
  • Pasti Secara Laboratorium : Kasus campak klinis yang telah dilakukan konfirmasi laboratorium dengan hasil positif terinfeksi virus campak (IgM positif).
  • Pasti Secara Epidemiologi : Semua kasus klinis yang mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus yang pasti secara laboratorium atau dengan kasus pasti secara epidemiologi yang lain (biasanya dalam kasus KLB).
  • Bukan Kasus Campak (Discarded) : Kasus tersangka campak, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium hasilnya negatif atau kasus tersangka campak yang mempunyai hubungan epidemiologis dengan Rubella.
  • Kematian Campak : Kematian dari seorang penderita campak pasti (klinis, laboratorium maupun epidemiologi) yang terjadi dalam 30 hari setelah timbul rash, bukan disebabkan oleh hal-hal lain seperti : trauma atau penyakit kronik yang tidak berhubungan dengan komplikasi campak.
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus golongan paramyxoviridae (RNA) jenis Morbilivirus yang mudah mati karena panas dan cahaya.

3. Masa Inkubasi
Masa Inkubasi antara 7–18 hari. Rata-rata 10 hari.

4. Sumber dan Cara Penularan
Sumber penularan adalah manusia sebagai penderita. Penularan dari orang ke orang melalui percikan ludah dan transmisi melalui udara terutama melalui batuk, bersin atau sekresi hidung. Masa penularan 4 hari sebelum timbul rash, puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama sakit.

5. Pengobatan
Pengobatan terhadap campak sesuai dengan gejala yang muncul. Penderita tanpa komplikasi cukup diberikan antipiretik dan pemberian vitamin A dosis tinggi sesuai usia. Jika ada komplikasi anjurkan penderita dirawat di Puskesmas atau di Rumah Sakit, Pengobatan komplikasi di sarana pelayanan kesehatan dengan pemberian antibiotik tergantung berat ringannya komplikasi, bila keadaan penderita cukup berat segera rujuk ke rumah sakit. Kasus yang terkena penyakit campak, diisolasi, untuk memutuskan rantai penularan pada orang lain.

Pemberian Vitamin A :
  • Diberikan sebanyak 2 kapsul (kapsul pertama diberikan saat penderita ditemukan, kapsul kedua diberikan keesokan harinya, dosis sesuai umur penderita)
  • Pemberian Vitamin A diutamakan untuk penderita campak, jika persediaan vitamin A mencukupi, sebaiknya juga diberikan pada yang tidak terkena kasus campak.
  • Umur 0-6 bulan, bagi bayi yang tidak mendapatkan ASI , diberikan vitamin A 1 kapsul 50.000 IU pada saat penderita ditemukan, dan kapsul ke dua diberikan keesokan harinya.
  • Umur 6–11 bulan, pada saat penderita ditemukan, diberikan vitamin A sebanyak 100.000 IU, dan kapsul kedua diberikan pada hari kedua.
  • Umur 12–59 bulan, saat penderita ditemukan, diberikan vitamin A sebanyak 1 kapsul 200.000 IU, dan kapsul kedua diberikan pada hari kedua.
6. Epidemiologi
Di seluruh dunia diperkirakan terjadi penurunan 56% kasus campak yang dilaporkan yaitu 852.937 kasus pada tahun 2000 menjadi 373.421 kasus pada tahun 2006. Jumlah kasus campak di regional SEARO meningkat dari 78.574 kasus pada tahun 2000 menjadi 94.562 kasus pada tahun 2006. Di Indonesia dilaporkan pada tahun 2010 telah terjadi 188 kejadian luar biasa campak dengan 3.044 kasus. Sementara dari laporan rutin campak jumlah kasus pada tahun 2010 adalah 19.111 kasus.

7. Kejadian Luar Biasa
Bagi Negara yang telah menyelesaikan kampanye campak, maka surveillans campak harus dilaksanakan lebih sensitif, oleh sebab itu WHO merekomendasikan kriteria KLB campak yaitu : 5 kasus campak /100.000 populasi.

Di Indonesia walaupun kampanye campak sudah dilaksanakan namun kriteria seperti yang ditetapkan WHO masish sulit diterapkan. Hal ini disebabkan populasi 100.000 kemungkinan terdistribusi di 3 Puskesmas, dan kasus campak masih cukup tinggi, maka secara operasional akan sulit. Untuk memeudahkan operasional di lapangan, maka definisi KLB tersangka campak ditetapkan sebagai berikut :

Adanya 5 atau lebih kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan epidemiologi.
  • KLB Campak Pasti : Apabila minimum 2 spesimen positif IgM campak dari hasil pemeriksaan kasus pada tersangka KLB campak.
  • KLB Rubella : Minimum 2 spesimen positif IgM rubella
  • KLB Mixed (Campuran) : Ditemukan adanya IgM rubella positif dan IgM campak positif dalam satu KLB
1) Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan KLB campak bertujuan untuk mengetahui gambaran epidemiologi KLB berdasarkan waktu kejadian, umur dan status imunisasi penderita, sehingga dapat diketahui luas wilayah yang terjangkit dan kelompok yang berisiko. Disamping itu juga untuk mendapatkan faktor risiko terjadinya KLB sehingga dapat dilakukan tindak lanjut.

Jika ada 1 kasus suspek campak, yang dilaporkan dari rumah sakit, puskesmas maupun laporan
masyarakat, harus dilakukan pelacakan untuk memastikan apakah di tempat tinggal kasus, di sekolah, dan lain-lain, ada kasus serupa.

Jika dilaporkan KLB tersangka campak, maka dilakukan kunjungan dari rumah ke rumah (rumah yang ada kasus campak dan rumah yang tidak ada kasus campak) di wilayah tersebut, dengan mengisi format C1. Ini dilakukan untuk mencari kasus tambahan, populasi berisiko dan untuk melihat status imunisasi campak pada populasi di daerah KLB. Cari faktor resiko KLB Campak dengan form C2, dan berikan rekomendasi.

2) Penanggulangan
Penanggulangan KLB campak didasarkan pada analisis dan rekomendasi hasil penyelidikan KLB
campak, dilakukan sesegera mungkin agar transmisi virus dapat dihentikan dan KLB tidak meluas serta dibatasi jumlah kasus dan kematian.

Langkah penanggulangan meliputi :
a. Tata laksana kasus
b. Imunisasi
c. Penyuluhan

Imunisasi yang dilakukan pada saat KLB, yaitu :
  • Imunisasi selektif, bila cakupan tinggi
Meningkatkan cakupan imunisasi rutin (upayakan 100 %) setiap balita (Usia 6 bl–5 th) yang tidak mempunyai riwayat imunisasi campak, diberikan imunisasi campak (di puskesmas atau posyandu hingga 1 bulan dari kasus terakhir).
  • Imunisasi campak masal
Yaitu memberikan imunisasi campak secara masal kepada seluruh anak pada golongan umur tertentu tanpa melihat status imunisasi anak tersebut. Hal yang menjadi pertimbangan adalah cakupan imunisasinya rendah, mobilitas tinggi, rawan gizi dan pengungi, daerah padat dan kumuh. Pelaksanaan imunisasi masal ini harus dilaksanakan sesegera mungkin, sebaiknya pada saat daerah tersebut diperkirakan belum terjadi pemularan secara luas. Selanjutnya cakupan imunisasi rutin tetap dipertahankan tinggi dan merata.

Demam Berdarah Dengue

Demam Berdarah DenguePenyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegypty. Penyakit DBD masih merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Hampir seluruh Kab/Kota di Indonesia endemis terhadap penyakit ini. Sejak ditemukan pertama kali tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, saat ini penyebarannya semakin meluas mencapai seluruh provinsi di Indonesia (33 provinsi). Penyakit ini seringkali menimbulkan KLB dan menyebabkan kematian.


1. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom virus lain, demam berdarah dengue dapat diikuti dengan syok/ renjatan (sindrom syok dengue).

Demam Dengue biasanya merupakan demam bifasik disertai keluhan nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, ruam pada kulit dan leukopeni.

Demam Berdarah Dengue (DBD) ditandai panas tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung selama 2–7 hari, kadang-kadang bifasik, disertai timbulnya gejala tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri ulu hati dan tanda-tanda perdarahan berupa bintik merah dikulit (petekia), mimisan, perdarahan pada mukosa, perdarahan gusi atau hematoma pada daerah suntikan, melena dan hati membengkak. Tanda perdarahan yang tidak tampak dapat diperiksa dengan melakukan tes Torniquet (Rumple Leede). Bintik merah dikulit sebagai manifestasi pecahnya kapiler darah dan disertai tanda-tanda kebocoran plasma yang dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium adanya peningkatan kadar hematokrit (hemokonsentrasi) dan/atau hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan pemeriksaan radiologis adanya efusi pleura atau ascites. Pada panas hari ke 3–5 merupakan fase kritis dimana pada saat penurunan suhu dapat terjadi sindrom syok dengue.

Panas tinggi mendadak, perdarahan dengan trombositopenia 100.000/ml atau kurang dan hemokonsentrasi atau kenaikan hematokrit lebih dari 20 % cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Banyak teori patogenesis namum belumdapat dipahami sepenuhnya mengapa infeksi dengue pada seseorang dapat menimbulkan gejala ringan sebaliknya pada yang lainnya menimbulkan syok. Teori yang banyak dianut adalah teori infeksi sekunder dan adanya reaksi imunitas didalam tubuh seorang penderita.

2. Etiologi.
Terdapat 4 tipe virus dengue D1, D2, D3 dan D4, termasuk famili flaviviridae. Di Indonesia yang terbanyak adalah tipe virus D3.

3. Masa Inkubasi
Terdapat masa inkubasi ekstrinsik dan masa inkubasi intrinsik. Masa inkubasi ekstrinsik merupakan periode waktu perkembangbiakan virus dalam kelenjar liur nyamuk sampai dapat menularkan pada manusia yang berkisar 8–10 hari. Masa inkubasi intrinsikmerupakan periode waktu perkembangbiakan virus didalam tubuh manusia sejak masuk sampai timbulnya gejala penyakit yang berkisar 4-6 hari.

4. Sumber dan Cara Penularan
Sumber penularanpenyakit adalah manusia dan nyamuk Aedes. Manusia tertular melalui gigitan nyamuk Aedes yang telah terinfeksi virus dengue, sebaliknya nyamuk terinfeksi ketika menggigit manusia dalam stadium viremia. Viremia terjadi pada satu atau dua hari sebelum awal munculnya gejala dan selama kurang lebih lima hari pertama sejak timbulnya gejala. Terdapat 2 jenis vektor, yaitu Ae. Aegypti dan Ae. albopictus. Ae. Aegypti merupakan vektor utama.

5. Pengobatan
Pengobatan demam dengue adalah simtomatif dan suportif. Istirahat selama demam, pengobatan ditujukan untuk mencegah penderita DBD masuk ke fase syok. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah memberi minum sebanyak penderita mampu, memberi obat penurun panas golongan parasetamol, kompres dengan air hangat. Apabila penderita tidak dapat minum atau muntah-muntah pasang infus cairan Ringer Laktat atau NaCl dan segera rujuk ke Rumah Sakit.

Pengobatan demam berdarah dengue derajat I dan II bersifat suportif dengan pemberian cairan (Ringer Lactat/Asetat atau NaCL) dosis rumatan (maintenance) dan simptomatis dengan analgetik antipiretik (parasetamol) disertai monitoring yang ketat tanda-tanda vital dan kemungkinan terjadinya kebocoran plasma (hemokonsentrasi). Penderita dirawat di rumah sakit bila terdapat kenaikan kadar hematokrit > 20%, disertai jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3, atau menunjukkan tanda-tanda perdarahan spontan selain petekia.
 


Demam Chik (Chikungunya)

Demam Chik (Chikungunya)Chikungunya atau demam chik adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus chikungunya yang bersifat self limiting diseases, tidak menyebabkan kematian dan diikuti dengan adanya imunitas didalam tubuh penderita, tetapi serangan kedua kalinya belum diketahui. Penyakit ini cenderung menimbulkan kejadian luar biasa pada sebuah wilayah.


1. Gambaran Klinis
Demam chikungunya atau nama lainnya demam chik adalah suatu penyakit menular dengan gejala utama demam mendadak, nyeri pada persendian dan ruam makulopapuler (kumpulan bintik-bintik kemerahan) pada kulit yang kadang-kadang disertai dengan gatal. Gejala lainnya yang dapat dijumpai adalah nyeri otot, sakit kepala, menggigil, kemerahan pada konjunktiva, pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher, mual, muntah. Pada anak-anak sering tidak menampakkan gejala yang khas. Pada beberapa penderita mengeluh nyeri di belakang bola mata dan bisa terlihat mata kemerahan dan mata berair.

Demam tinggi, timbul mendadak disertai mengigil dan muka kemerahan. Demam bisa bertahan selama 2-4 hari. Pada anak dapat timbul kejang demam, kadang-kadang disertai penurunan kesadaran. Kejang demam tersebut bukan akibat langsung dari infeksi virus, terbukti dari pemeriksaan cairan spinal (cerebro spinal) tidak ditemukan kelainan biokimia dan kelainan jumlah sel.

Nyeri sendi biasanya terlokalisir pada sendi besar, terutama sendi lutut dan tulang belakang, tetapi bisa juga terjadi pada beberapa sendi kecil terutama sendi pergelangan kaki, pergelangan tangan, jari kaki dan jari tangan. Sendi yang nyeri tidak bengkak, tetapi teraba lebih lunak. Pada pemeriksaan sendi tidak terlihat tanda-tanda pengumpulan cairan sendi. Nyeri sendi sering merupakan keluhan pertama sebelum keluhan demam dan dapat bermanifestasi berat, sehingga kadang-kadang penderita memerlukan ”kursi roda” saat berobat ke fasilitas kesehatan. Pada posisi berbaring biasanya penderita miring dengan lutut menekuk dan berusaha membatasi gerakan. Nyeri sendi terutama banyak dialami oleh wanita dewasa.

Nyeri otot bisa terjadi pada seluruh otot atau hanya pada otot daerah kepala dan bahu. Kadang-kadang terjadi pembengkakan otot sekitar mata kaki. Sakit kepala sering terjadi, tetapi tidak terlalu berat. Ruam di kulit bisa terjadi pada muka, badan, tangan, dan kaki, tetapi bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk makulo-papular. Ruam mulai timbul 1-10 hari setelah nyeri sendi. Ruam bertahan 7-10 hari, diikuti dengan deskuamasi kulit. Kadang-kadang ditemukan perdarahan pada gusi. Di India, ditemukan perdarahan gusi pada 5 anak di antara 70 anak yang diobservasi.

2. Etiologi
Agent (virus penyebab) adalah virus chikungunya, genus alphavirus atau “group A” antrophod-borne viruses (alphavirus), famili Togaviridae. Virus ini telah berhasil diisolasi di berbagai daerah di Indonesia. Vektor utama penyakit ini sama dengan penyakit Demam Berdarah Dengue, yaitu nyamuk Aedes sp. Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu penelitian lebih lanjut.

3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi antara 2-12 hari,tetapi pada umumnya 3-7 hari

4. Sumber dan Cara Penularan
Penularan demam chik terjadi apabila penderita yang sakit (dalam keadaan viremia) digigit oleh nyamuk penular Aedes sp, kemudian nyamuk tersebut menggigit orang lain. Biasanya penularan terjadi dalam satu rumah, tetangga, dan dengan cepat menyebar ke satu wilayah (RT/RW/ dusun/desa).

5. Pengobatan
Pengobatan bersifat simptomatis menurunkan demam dan mengurangi rasa nyeri dengan obat analgetik-antipiretik,beristirahat selama demam dan nyeri sendi akut. Makanan seperti biasa, tidak ada pantangan.

6. Epidemiologi
KLB chikungunya pertama kali dilaporkan di Tanzania pada tahun 1952, Uganda tahun 1963, Sinegal tahun 1967, 1975 dan 1983, Angola tahun 1972, Afrika Selatan tahun 1976, Zaire dan Zambia di Afrika Tengah pada tahun 1978-1979. Pada tahun 1950 mulai menyebar ke wilayah Asia yaitu India, Filipina, Thailand, Myanmar, Vietnam.

Kejadian luar biasa pernahterjadi di Yogyakarta (1983), Muara Enim (1999), Aceh (2000). Pada tahun 2010 KLB Chikungunya terjadi di NAD, Sumatera Selatan, Babel, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogya, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Bali. Saat ini hampir seluruh wilayah di Indonesia potensial untuk timbulnya KLB chikungunya.

Penyebaran penyakit chikungunya di Indonesia terjadi pada daerah endemis penyakit demam berdarah dengue. KLB seringterjadi pada awal dan akhir musim hujan. Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit chikungunya. Berdasarkan data yang ada chikungunya lebih sering terjadi didaerah sub urban.

7. Kejadian Luar Biasa
Definisi Operasional KLB Chikungunya adalah ditemukan lebih dari satu penderita Chikungunya di suatu desa/kelurahan yang sebelumnya tidak pernah ditemukan penderita. (Pedoman Pengendalian Chikungunya, Kemkes, 2007)

Penanggulangan KLB Demam Chik terutama diarahkan pada upaya pemutusan mata rantai penularan kasus-nyamuk-orang sehat. Pengobatan bersifat simptomatis. Upaya pencegahan terutama diarahkan pada pencegahan terjadinya KLB di daerah berbatasan atau penyebaran daerah yang mempunyai frekuensi transportasi yang tinggi.

1) Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap dugaan penderita demam chik, terutama apabila memiliki gejala demam mendadak, nyeri sendi, dan ruam. Adanya KLB demam chik sering rancu dengan adanya KLB demam dengue, demam berdarah dengue, dan campak, oleh karena itu disamping distribusi gejala dan tanda-tanda dari sekelompok penderita yang dicurigai, diagnosis dapat didukung pemeriksaan serologis dengan metode Elisa atau Rapid Diagnostic Test (RDT) pada sebagian penderita. Secara operasional sebaiknya hanya diambil pada 10-25 penderita dengan gejala demam mendadak, nyeri sendi dan ruam.
Tatacara pengambilan dan pengiriman spesimen demam chik adalah sebagai berikut :
  • Sampel adalah serum darah sebanyak 5-7 cc yang diambil dari penderita akut.
  • Sampel disimpan dan dikirim selalu berada pada suhu 4-8 °C, sehingga pengiriman harus menggunakan termos dingin. Identitas dan data pendukung perlu dilampirkan dengan cermat berupa nama penderita, tanggal mulai sakit, tanggal pengambilan spesimen, umur, jenis kelamin, alamat dan gejala gejala yang timbul (demam, nyeri sendi, ruam, mimisan, batuk darah, berak darah, dan syok) serta nama, alamat, telepon dan faksimili pengirim spesimen.
  • Pemeriksaan dapat dilakukan di Bagian Virologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat atau di Laboratorium Kesehatan Daerah yang telah mampu melakukan pemeriksaan.
  • Hasil pemeriksaan laboratorium dikirimkan kepada pengirim.
Laporan penyelidikan epidemiologi sebaiknya dapat menjelaskan :
  • Diagnosis KLB,
  • Penyebaran kasus menurut waktu (minggu), wilayah geografi (RT/RW, desa dan Kecamatan), umur dan faktor lainnya yang diperlukan, misalnya sekolah, tempat kerja dan sebagainya.
  • Gambaran besar masalah keberadaan nyamuk dan jentik Aedes
  • Status KLB pada saat penyelidikan epidemiologi dilaksanakan serta perkiraan peningkatan dan
  • penyebaran KLB.
  • Faktor-faktor risiko lain yang berkontribusi terhadap timbulnya KLB
  • Rencana upaya penanggulangannya.
2) Upaya Penanggulangan
Penanggulangan KLB dilaksanakan terhadap 3 kegiatan utama, penyelidikan KLB, upaya pengobatan dan upaya pencegahan KLB serta penegakan sistem surveilans ketat selama periode KLB.

Demam chik belum ditemukan obat, tetapi dapat sembuh sendiri sehingga pengobatan bersifat simptomatis dengan pemberian obat penurun panas dan mengurangi nyeri, dan beristirahat selama fase akut, serta pada umumnya tidak memerlukan perawatan di rumah sakit.

Untuk memutus mata rantai penularan kasus-nyamuk-orang lain perlu dilakukan tindakan sama dengan upaya pemberantasan KLB DBD yaitu, gerakan pemberantasan sarang nyamuk, pemberian larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, perlindungan diri menggunakan repelen, obat nyamuk bakar dan sejenisnya, penggunaan kelambu serta isolasi penderita agar tidak digigit nyamuk. Pada daerah KLB dapat dilakukan pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa terinfeksi yang dilakukan pada wilayah KLB sebanyak 2 kali pengasapan dengan interval satu minggu.

3) Surveilans ketat pada KLB
Perkembangan kasus dan kematian setiap hari disampaikan ke dinas kesehatan kabupaten / kota. Dilakukan analisis mingguan terhadap perkembangan kasus dan kematian.

8. Sistem Kewaspadaan Dini KLB
Pemantauan kemungkinan terjadinya KLB demam chik dilaksanakan oleh setiap unit pelayanan kesehatan dan masyarakat, baik terhadap penderita maupun pemantauan jentik berkala. Intensifikasi pemantauan kemungkinan terjadinya KLB demam chik ini sangat bergantung pada adanya peringatan kewaspadaan KLB yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan.

SKD-KLB demam chik oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan terutama berdasarkan data dan informasi adanya peningkatan serangan KLB demam chik yang diperoleh dari laporan. Adanya peningkatan frekuensi serangan KLB demam chik disuatu wilayah mendorong Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi dan Departemen Kesehatan untuk mengeluarkan edaran peringatan kewaspadaan KLB demam chik agar semua unit kesehatan dan masyarakat meningkatkan kewaspadaan, terutama melakukan upaya-upaya pencegahan yang memadai.

SKD-KLB demam chik juga berdasarkan data curah hujan serta perkembangan nyamuk melalui pemantauan jentik berkala. Pemantauan jentik berkala sebaiknya wajib dilaksanakan di tempat-tempat umum, seperti sekolah, masjid, pasar, gedung pertemuan, dan sebagainya. SKD-KLB demam chik dilaksanakan bersamaan dengan SKD-KLB DBD.

Demam Kuning (Yellow Fever)

Demam Kuning (Yellow Fever)Demam Kuning (Yellow Fever) adalah penyakit demam hemoragik virus akut yang ditularkan oleh nyamuk yang terinfeksi virus “Demam Kuning/ Yellow Fever”. Istilah "kuning" mengacu pada gejala ikterus yang muncul pada beberapa pasien.


1. Gambaran Klinis
Demam kuning ditandai berbagai manifestasi klinis mulai dariringan sampai kasus yang berat dan fatal. Demam Kuning pada manusia memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Fase akut ; berlangsung selama 4-5 hari dengan manifestasi :
  • Demam mendadak
  • Sakit kepala atau sakit punggung
  • Nyeri otot
  • Mual
  • Muntah
  • Mata merah (injeksio konjungtiva).
Pada fase ini, demam kuning biasanya sulit dibedakan dengan penyakit lain yang juga hadir dengan demam, sakit kepala, mual, muntah karena ikterus biasanya belum tampak pada kasus yang ringan. Kasus yang ringan biasanya non-fatal.

b. Periode remisi temporer ; mengikuti fase akut mencakup 5% sampai 20% dari kasus. Periode remisi berlangsung sampai 24 jam.

c. Fase beracun (toxic phase) ; dapat mengikuti periode remisi dan ditandai dengan :
  • Ikterus
  • Urine berwarna gelap
  • Produksi urin menurun (oliguria)
  • Perdarahan dari hidung, gusi atau pada tinja (melena)
  • Muntah darah (hematemesis)
  • Cegukan (hiccups)
  • Diare
  • Denyut nadi melambat dalam hubungannya dengan demam
Setelah terinfeksi, inkubasi virus dalam tubuh selama 3 sampai 6 hari, infeksi yang dapat terjadi dalam satu atau dua tahap. Yang pertama, "akut", fase biasanya menyebabkan demam, nyeri otot dengan sakit punggung menonjol, sakit kepala, menggigil, kehilangan nafsu makan, dan mual atau muntah. Kebanyakan pasien meningkat dan gejala menghilang setelah 3 sampai 4 hari.

Namun, 15% dari pasien memasuki fase kedua yang lebih beracun dalam waktu 24 jam dari remisi awal. Kembali demam tinggi dan sistem tubuh dipengaruhi beberapa. Berkembang dengan cepat pasien penyakit kuning dan mengeluh nyeri perut dengan muntah. Perdarahan dapat terjadi dari, hidung mulut, mata atau perut. Setelah ini terjadi, darah akan muncul dalam muntahan dan kotoran. Fungsi ginjal memburuk. Setengah dari pasien yang memasuki fase beracun mati dalam waktu 10 hingga 14 hari, sisanya sembuh tanpa kerusakan organ yang signifikan.

Demam kuning sulit untuk didiagnosis pada tahap awal. Hal ini disebabkan gejalanya sulit dibedakan dengan malaria berat, demam berdarah dengue, leptospirosis, virus hepatitis (terutama bentuk fulminan hepatitis B dan D), demam berdarah lain (Bolivia, Argentina, Venezuela dan demam berdarah flavivirus lain seperti West Nile, Zika, dan lain-lain) dan penyakit lainnya, serta keracunan. Tes darah dapat mendeteksi antibodi demam kuning yang dihasilkan sebagai respons terhadap infeksi. Beberapa teknik lain yang digunakan untuk mengidentifikasi virus dalam spesimen darah atau jaringan hati dikumpulkan setelah kematian. Tes ini membutuhkan staf laboratorium yang terlatih dengan peralatan dan bahan khusus.

2. Etiologi
Virus demam kuning merupakan arbovirus dari genusflavivirus, dan nyamuk Aedes sp. adalah vektor utama. Nyamuk ini membawa virus dari satu host ke yang lain, terutama antara Kera, dari Kera ke manusia, dan dari manusia ke manusia. Manusia dan Kera merupakan hospes utama.

3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi berkisar 3–6 hari

4. Sumber & Cara Penularan
Nyamuk Aedes adalah vektor utama penyakit ini, yang membawa virus dari satu pejamu ke pejamu yang lain, terutama antar kera, dari kera ke manusia, dan antar manusia. Beberapa spesies yang berbeda dari nyamuk Haemogogus juga dapat menularkan virus ini.

Nyamuk berkembang biak baik di sekitar rumah (domestik), di hutan (liar), atau di kedua habitat (semi-domestik).

Ada tiga jenis siklus penularan, yaitu :
  • Sylvatic (siklus hutan) demam kuning : Di hutan hujan tropis, demam kuning terjadi pada kera yang terinfeksi oleh nyamuk liar. Kera yang terinfeksi kemudian menularkan virus kepada nyamuk lain yang menggigitnya. Nyamuk yang terinfeksi menggigit manusia yang masuk ke hutan. Sebagian besar infeksi terjadi pada pria muda yang bekerja di hutan.
  • Demam kuning Menengah : Di bagian lembab atau semi-lembab Afrika, wabah skala kecil terjadi. Nyamuk semi-domestik menginfeksi kera dan manusia. Transmisi terjadi akibat meningkatnya kontak antara manusia dan nyamuk yang terinfeksi. Banyak desa terpisah di suatu daerah dapat menderita kasus secara bersamaan. Ini adalah jenis yang paling umum dari wabah di Afrika.
  • Demam kuning perkotaan : wabah besar terjadi ketika orang yang terinfeksi membawa virus ke daerah-daerah padat penduduk dengan jumlah orang yang rentan dan nyamuk Aedes yang tinggi. Nyamuk yang terinfeksi menularkan virus dari orang ke orang.
5. Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk demam kuning, hanya perawatan Suportif untuk Mengobati dehidrasi Dan demam. Infeksi sekunder Bakteri dapat Diobati dengan antibiotik. Perawatan suportif dapat meningkatkan hasil terapi.

6. Epidemiologi
Hampir 50% dari orang-orang yang terinfeksi tanpa pengobatan akan mati karena demam kuning. Setiap tahun diperkirakan terjadi 200.000 kasus demam kuning diseluruh dunia, dengan 30.000 kematian.

Jumlah kasus demam kuning telah meningkat selama dua dekade terakhir karena populasi yang kebal terhadap infeksi menurun, penggundulan hutan, perpindahan penduduk, dan perubahan iklim.

Terdapat 45 negara endemik di Afrika dan Amerika Latin, dengan total populasi berisiko lebih dari 900 juta. Di Afrika, terdapat 508 juta orang diperkirakan tinggal di 32 negara beresiko.

Sejumlah kecil kasus impor terjadi di negara bebas dari demam kuning. Meskipun penyakit ini belum pernah dilaporkan di Asia, karena wilayah ini berisiko terjadinya transmisi.

7. Kejadian Luar Biasa
Penemuan satu kasus demam kuning sudah dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Kasus demam kuning harus dilaporkan kepada institusi kesehatan setempat secara berjenjang menggunakan formulir W1.

Selanjutnya dilakukan tindakan :

1) Isolasi. Kewaspadaan universal terhadap darah dan cairan tubuh paling sedikit sampai dengan 5 hari setelah sakit, penderita yang sedang dirawat agar dihindari terhadap gigitan nyamuk. Ruang perawatan agar dipasangi kasa nyamuk, tempat tidur dipasangi kelambu, ruangan disemprot dengan insektisida dengan efek residual.

2) Rumah penderita dan rumah di sekitar penderita disemprot dengan insektisida yang efektif.

3) Imunisasi terhadap kontak. Keluarga dan mereka yang kontak dengan penderita yang sebelumnya belum pernah diimunisasi agar diberikan imunisasi.

4) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi. Lakukan penyelidikan semua tempat, termasuk daerah berhutan yang dikunjungi oleh penderita 3–6 hari sebelum mereka sakit. Tempat-tempat tersebut dianggap sebagai fokus penularan, awasi semua orang yang berkunjung ke daerah tersebut. Cari tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh penderita dan tempat mereka bekerja beberapa hari sebelum mereka sakit. Lakukan penyemprotan terhadap tempat-tempat tersebut dengan insektisida yang efektif untuk mencegah penularan. Lakukan investigasi terhadap mereka yang menderita demam walaupun ringan dan orang-orang yang meninggal dengan sebab yang tidak jelas terhadap kemungkinan bahwa orang tersebut menderita demam kuning.

Orang yang akan pergi ke Negara yang dinyatakan terinfeksi demam kuning harus mendapatkan vaksinasi untuk pencegahan. Setiap Negara berhak menolak kedatangan orang dari Negara terjangkit yang tidak dilengkapi dengan bukti vaksinasi (International Certificate of Vaccination / ICV).

8. Sistem Kewaspadaan Dini
Sistem kewaspadaan dini terutama dilakukan di pintu-pintu masuk Negara dengan memastikan setiap orang yang datang dari Negara terjangkit telah memiliki kekebalan terhadap penyakit demam kuning yang dibuktikan dengan ICV. Dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan kewaspadaan berdasarkan laporan dari sarana pelayanan kesehatan (puskesmas, RS, klinik swasta, dan lain-lain) dan masyarakat.

Diare Akut

Diare AkutDiare akut adalah buang air besar yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (pada umumnya 3 kali atau lebih) per hari dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 7 hari.


Diare adalah penyakit dimana penyebabnya adalah infeksi, malabsorspi, keracunan pangan, dan yang terkait penggunaan antibiotik (DTA/AAD). Diare sering menimbulkan KLB dengan jumlah penderita dan kematian yang besar, terutama diare akut yang disebabkan oleh infeksi dan keracunan pangan. KLB sering terjadi di daerah dengan kualitas sanitasi buruk, air bersih yang tidak memadai dan banyaknya gizi buruk.

1. Gambaran Klinis
Sesuai dengan penyebabnya, diare dapat disertai gejala lain seperti muntah, dehidrasi, sakit perut yang hebat, lendir dan darah dalam tinja, dan lain-lain.

2. Etiologi
Di Indonesia penyebab utama KLB diare adalah Vibrio cholerae, kelompok disentri (Entamoeba histolytica, Shigella dysentriae, Salmonella, Campylobacter jejuni, dan Escherichia coli), dan Rotavirus

3. Sumber dan Cara Penularan
Cara penularan diare adalah secara fecal-oral. Tinja penderita diare mengandung kuman yang dapat mencemari sumber air bersih dan makanan. Penyebarannya melalui lalat, tangan tercemar dan sanitasi yang buruk.

4. Pengobatan
Prinsip tatalaksana penderita diare adalah LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan Diare), yang terdiri atas :
a. Oralit Osmolaritas Rendah
Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan oralit. Bila tidak tersedia, berikan lebih banyak cairah rumah tangga yang mempunyai osmolaritas rendah yang dianjurkan seperti air tajin, kuah sayur dan air matang.

b. Zinc
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan diare pada 3 bulan berikutnya.

Zinc diberikan pada setiap diare dengan dosis, untuk anak berumur kurang dari 6 bulan diberikan 10 mg (1/2 tablet) zinc per hari, sedangkan untuk anak berumur lebih dari 6 bulan diberikan 1 tablet zinc 20 mg. Pemberian zinc diteruskan sampai 10 hari, walaupun diare sudah membaik. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kejadian diare selanjutnya selama 3 bulan ke depan.

c. Pemberian ASI / Makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan.

d. Pemberian antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotik hanya bermanfaat pada anak dengan diare berdarah, suspek kolera dan infeksi-infeksi diluar saluran pencernaan yang berat, seperti pneumonia. Obat antiprotozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).

e. Pemberian Nasihat
Ibu atau keluarga yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasihat tentang :
1) Cara memberikan cairan dan obat di rumah
2) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan (diare lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan atau minum sedikit, timbul demam, tinja berdarah, tidak membaik selama 3 hari.

Berdasarkan hasil penilaian derajat dehidrasi gunakan Bagan rencana pengobatan yang sesuai :
1) Rencana terapi A untuk penderita diare tanpa dehidrasi di rumah
2) Rencana terapi B untuk penderita diare dengan dehidrasi ringan-sedang (tidak berat) di Sarana Kesehatan untuk diberikan pengobatan selama 3 jam.
3) Rencana terapi C untuk penderita diare dengan dehidrasi berat di Sarana Kesehatan dengan pemberian cairan Intra Vena.
 

Diare Berdarah

Diare BerdarahDiare berdarah atau disentri adalah diare dengan darah dan lendir dalam tinja dapat disertai dengan adanya tenesmus.


Diare berdarah dapat disebabkan oleh kelompok penyebab diare, seperti oleh infeksi bakteri, parasit, alergi protein susu sapi, tetapi sebagian besar disentri disebabkan oleh infeksi bakteri. Penularannya secara fekal oral, kontak dari orang ke orang. Infeksi ini menyebar melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan biasanya terjadi pada daerah dengan sanitasi dan hygiene perorangan yang buruk.

Di Indonesia penyebab disentri adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter jejuni, Escherichia coli (E. coli), dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebakan oleh Shigella dysentriae, Shigella flexneri, Salmonella dan Entero Invasive E. Coli (EIEC).

Aspek khusus penatalaksanaan disentri adalah beri pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari), yang masih sensitif terhadap Shigella menurut pola setempat atau di negara tersebut. Obat lini pertama untuk disentri adalah Cotrimoksasol.

Lokasi dimana S. flexneri yang terbanyak, antibiotik yang sensitif (100%) antara lain adalah siprofloksasin, kloramfenikol, asam nalidiksat, seftriakson, dan azitromisin. Trimetropim yang dulu disarankan sebagai lini pertama sudah tidak sensitif (0%) lagi (Putnam et al, 2007). Sedangkan penelitian di Jakarta pada bulan Juli hingga Oktober 2005 menunjukkan bahwa Shigella sonnei dan Shigella flexneri sensitif terhadap siprofloksasin, kloramfenikol, asam nalidiksat, dan sefiksim; sedangkan kotrimoksazol, kolistin, dan tetrasiklin sudah mengalami resistensi (Elvira et al., 2007).

Asam nalidiksat tidak banyak beredar di pasaran. Dosis siprofloksasin untuk anak-anak adalah 15 mg/kg BB 2x perhari selama 3 hari, peroral. (WHO, 2005).

Jika menegakkan diagnosis klinik lain, beri terapi kausal yang sesuai :
  • Giardasis diberi metronidazol dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari.
  • Infeksi Campylobacter diobati dengan eritromisin 10 mg/kgBB maksimum 500 mg per dosis setiap 6 jam selama 5-7 hari.
  • Infeksi Salmonella diobati dengan kloramfenikol 50-75 mg/kgBB/hari maksimal 2 gram per hari dibagi 4 dosis.
  • Infeksi Clostridium difficile diobati dengan metronidazol dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 7-10 hari.
  • Lakukan tatalaksana LINTAS Diare
KOLERA / SUSPEK KOLERA
Diare terus menerus, cair seperti air cucian beras, tanpa sakit perut, disertai muntah dan mual diawal penyakit. Seseorang dicurigai kolera apabila :
  • Penderita berumur >5 tahun menjadi dehidrasi berat karena diare akut secara tiba-tiba (biasanya disertai muntah dan mual), tinjanya cair seperti air cucian beras, tanpa rasa sakit perut (mulas); atau
  • Setiap penderita diare akut berumur >2 tahun di daerah yang terjangkit KLB Kolera.
  • Kasus kolera ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium
  • Chloramphenicol mungkin dapat digunakan bila antibiotika yang dianjurkan diatas tidak tersedia atau bila V. cholerae 01 resisten terhadap antibiotika diatas.
  • Doxycycline adalah antibiotika pilihan untuk orang dewasa (kecuali wanita hamil) karenanhanya dibutuhkan dosis tunggal.
  • TMP-SMX adalah antibiotika pilihan untuk anak-anak. Tetracycline sama efektifnya namun begitu, di beberapa negara tidak ada sediaan untuk anak-anak.
  • Chloramphenicol adalah antibiotika pilihan utana untuk wanita hamil (trimester 1 dan 2), Tetracycline merupakan obat pilihan utama.
6. Epidemiologi
Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama pada anak berumur kurang dari 5 tahun (balita). Di negara berkembang, sebesar 2 juta anak meninggal tiap tahun karena diare, dimana sebagian kematian tersebut terjadi di negara berkembang (Parashar, 2003). Berdasarkan laporan WHO, kematian karena diare di negara berkembang diperkirakan sudah menurun dari 4,6 juta kematian pada tahun 1982 menjadi 2 juta kematian pada tahun 2003 (WHO, 2003). Di Indonesia, angka kematian diare juga telah menurun tajam. Berdasarkan data hasil survei rumah tangga, kematian karena diare diperkirakan menurun dari 40% pada tahun 1972 hingga 26,9% pada tahun 1980, 26,4% tahun 1986 hingga 13% tahun 2001 dari semua kasus kematian.

Selama 2003-2010, KLB diare menunjukkan fluktuasi baik frekuensi kejadian dan jumlah penderitanya maupun Case Fatality Rate nya. KLB diare terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.

KLB diare sering terjadi di daerah yang mengalami kekeringan, kemarau panjang, sanitasi buruk, rendahnya kebersihan perorangan. KLB diare juga sering terjadi pada sekelompok orang yang sedang mengadakan perjalanan, kelompok jemaah haji, pengungsi dan sebagainya, baik disebabkan karena buruknya sanitasi dan penyediaan air bersih, status gizi dan kondisi kesehatan menurun.

7. Kejadian Luar Biasa dan Penanggulangannya
Upaya penanggulangan KLB diarahkan terutama mencegah terjadinya dehidrasi dan kematian. Penegakan sistem rujukan dari keluarga – pos pelayanan kesehatan dilakukan dengan cepat dan menjangkau semua penderita. Apabila diagnosis etiologi dapatteridentifikasi dengan tepat, maka pemberian antibiotika dapat mempercepat penyembuhan dan sekaligus menghilangkan sumber penularan dengan cepat. Bagimanapun juga identifikasi faktor risiko lingkungan sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit.

1) Penyelidikan Epidemiologi
Telah terjadi KLB diare pada suatu wilayah tertentu apabila memenuhi salah satu kriteria :
  • Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
  • Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
  • Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
  • Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
  • Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
  • Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Penegakan diagnosis KLB berdasarkan gambaran klinis kasus, distribusi gejala, gambaran epidemiologi dan hasil pemeriksaan laboratorium :
  • Distribusi gejala kasus-kasus pada KLB diare karena V. cholerae. Diare berbentuk cair seperti air beras merupakan tanda khas pada diare kolera ini. Sebagian besar penderita menunjukkan gejala diare cair dan muntah yang hebat disertai dehidrasi, shock tanpa tenesmus, terutama terjadi peningkatan kasus pada golongan umur diatas 5 tahun atau dewasa. Pada KLB ini sering disertai kematian, terutama pada anak balita. Spesimen tinja untuk pemeriksaan adanya bakteri V. cholerae, diperoleh dengan rectal swab, kemudian dimasukkan ke dalam botol Carry and Blair, serta disimpan pada suhu kamar. Spesimen muntahan untuk pemeriksaan V. Cholerae diambil sebanyak 1–5 cc dari tempat penampungan, kemudian dimasukkan ke dalam botol alkali pepton, disimpan pada suhu kamar. Sampel air untuk pemeriksaan kuman V. Cholerae diambil sebanyak 1 liter dan disimpan dalam suhu dingin 40C.
  • Distribusi gejala pada KLB diare karena disentri menunjukkan karakteristik gejala diare dengan darah, lendir disertai tenesmus (mules). Pada diare shigella dan salmonella non tifosa disentri sering berbau busuk, sementara pada amuba berbau amis. Pada pemeriksaan spesimen tinja ditemukan kuman penyebab.
  • Pada C. Jejuni sering menyerang pada anak-anak dan juga binatang (ayam dan anjing). Gejala yang timbul panas selama 2–5 hari.
Disamping penegakan diagnosis KLB, penyelidikan KLB diare dapat menggambarkan kelompok rentan dan penyebaran kasus yang memberikan arah upaya penanggulangan. Kurva epidemi dibuat dalam harian dan mingguan kasus dan atau kematian. Tabel dan grafik dapat menjelaskan gambaran epidemiologi angka serangan (attack rate) dan case fatality rate menurut umur, jenis kelamin dan wilayah tertentu. Peta area map dan spot map dapat menggambarkan penyebaran kasus dan kematian dari waktu ke waktu.

Pada penyelidikan KLB juga dapat menggambarkan hubungan epidemiologi kasus-kasus dan faktor risiko tertentu, sanitasi dan sebagainya yang sangat diperlukan dalam upaya pencegahan perkembangan dan penyebaran KLB diare. Hubungan kasus-faktor risiko tidak selalu diperoleh berdasarkan hubungan asosiasi, tetapi dapat diperkirakan dari pola penyebaran kasus dan pola sanitasi daerah KLB dalam suatu peta atau grafik.

2) Upaya Penanggulangan KLB
Upaya penanggulangan KLB melakukan upaya penyelamatan penderita dengan mendekatkan pelayanan ke masyarakat di daerah berjangkit KLB diare, yaitu dengan membentuk pos kesehatan dan pusat rehidrasi yang diikuti dengan penyuluhan agar masyarakat dapat melakukan pertolongan sementara di rumah tangga dan segera membawa ke pos pelayanan kesehatan terdekat.

Upaya pencegahan dilakukan sesuai dengan hasil penyelidikan terhadap populasi berisiko dan faktor risikonya. Secara umum, pada KLB kolera pemberian antibiotika pada penderita dapat sekaligus memutus mata rantai penularan dan diikuti dengan distribusi air bersih, memasak air sebelum diminum, pemberian kaporit dan pengamanan makanan. Upaya penanggulangan didukung oleh sistem surveilans selama periode KLB yang dapat menuntun arah dan evaluasi upaya penanggulangan.

Tugas utama Pos Kesehatan dan Pusat Rehidrasi (PR) adalah :
  • Merawat dan memberikan pengobatan diare sesuai bagan tatalaksana diare sesuai derajat dehidrasinya (sesuai standar)
  • Melakukan registrasi pencatatan nama, umur, alamat lengkap, tanggal berobat dan waktu mulai sakit, gejala, diagnosa (sebagaimana terlampir)
  • Mengatur logistik dan obat-obatan
  • Memberikan penyuluhan kepada penderita dan keluarga
  • Memberikan pengobatan preventif terhadap kontak serumah pada kasus/KLB kolera.
  • Membuat laporan harian kepada puskesmas.
Tim penanggulangan KLB menyelenggarakan penyuluhan untuk melakukan perawatan dini dan mencermati tanda-tanda dehidrasi, penyuluhan segera berobat bagi setiap penderita dan bahkan secara aktif mencari kasus sedini mungkin. Upaya ini bekerjasama dengan para guru, petugas desa atau kelurahan, petugas Puskesmas lainnya.

Pada KLB kolera dapat dilakukan kaporisasi sumber air minum yang digunakan oleh penduduk daerah terjangkit KLB diare. Penduduk juga mendapat penyuluhan memasak air minum, pengamanan makanan dari pencemaran, lisolisasi bahan atau pakaian dan lantai.

8. Sistem Kewaspadaan Dini KLB
Secara nasional KLB diare sudah jauh berkurang dan jarang terjadi, tetapi sepanjang tahun masih dilaporkan adanya KLB diare karena kolera di beberapa daerah di Indonesia. Namun demikian kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB Diare tetap harus dilakukan.

Kegiatan SKD KLB Diare adalah pengamatan dan pencatatan untuk :
  • Kasus diare mingguan untuk melihat pola maksimum-minimum tahunan (trend dilihat minimal dalam 3 tahun).
  • Faktor risiko (perubahan iklim, lingkungan, sanitasi, PHBS).
PWS KLB diare harus dilaksanakan di setiap unit pelayanan, terutama di Puskesmas dan rumah sakit serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan pelaporan berjenjang sampai ke tingkat Pusat. PWS KLB diare juga perlu dikembangkan di laboratorium, baik di Balai Laboratorium Kesehatan Pusat dan Daerah maupun laboratorium rumah sakit dan puskesmas.

Penyakit Difteri


Penyakit Difteri adalah penyakit menular akut pada tonsil, faring dan hidung kadang-kadang pada selaput mukosa dan kulit. Difteri dapat menyerang orang yang tidak mempunyai kekebalan.


1. Gambaran klinis
Difteri mempunyai gejala klinis demam ±380C, pseudomembran putih keabu-abuan, tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), karena pembengkakan kelenjar leher dan sesak nafas disertai bunyi (stridor).

Kasus Difteri dapat diklasifikasikan dalam kasus probable dan kasus konfirmasi :
  • Kasus probable adalah kasus yang menunjukkan gejala-gejala demam, sakit menelan, pseudomembran, pembengkakan leher dan sesak nafas disertai bunyi (stridor).
  • Kasus konfirmasi adalah kasus probable disertai hasil laboratorium, berupa hapus tenggorok & hapus hidung atau hapus luka di kulit yang diduga Difteri kulit.
2. Etiologi
Kuman penyebab adalah Corynebacterium Diphtheriae. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasif, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu eksotoksin. Toksin ini mempunyai efek patologik sehingga menyebabkan orang jadi sakit. Ada 3 tipe dari Corynebacterium Diphtheriae yaitu tipe mitis, tipe intermedius dan tipe gravis. Kuman ini dapat hidup pada selaput mukosa tenggorokan manusia tanpa menimbulkan gejala penyakit. Keadaan ini disebut carrier. Pada masa non epidemi ditemukan carrier rate sebesar 0,5%-1,2% dari penduduk dan kumannya adalah tipe mitis, sedangkan pada masa epidemi carrier rate bisa meningkat menjadi 25%-40% dan kumannya adalah tipe gravis.

Strain yang mulanya nontoxigenic bisa menjadi toxigenic, jika strain tersebut terinfeksi virus yang spesifik atau bakteriofag, sehingga strain tadi mengeluarkan toksin ampuh dalam jumlah besar yang menyebabkan sakit dan kematian pada penduduk yang tidak mendapat vaksinasi. Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada anak-anak golongan umur 1–5 tahun. Sebelum umur 1 tahun, anak-anak masih mendapat perlindungan pasif dari ibunya. Waktu anak umur 1 tahun, antibodi tersebut sudah habis. Maka penyakit Difteri mulai dapat menyerang mereka yang belum pernah sakit atau yang sebelumnya sudah kontak dengan strain Difteri jinak, tetapi tidak mempunyai respons immunotoxigenic yang cukup kuat. Karena penduduk yang tidak rentan (non susceptible) semakin besar dengan bertambahnya umur, maka sesudah umur 5 tahun, age specific attack rate makin menjadi kecil.

3. Masa inkubasi
Masa inkubasi antara 2–5 hari. Masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carrier bisa sampai 6 bulan

4. Sumber dan cara penularan
Sumber penularan adalah manusia baik sebagai penderita maupun carrier. Seseorang dapat menyebarkan bakteri melalui pernafasan droplet infection atau melalui muntahan, pada difteri kulit bisa melalui luka di tangan.

Kriteria kasus dan kontak :
a. Kontak kasus : Adalah orang serumah, tetangga, teman bermain, teman sekolah, termasuk guru, teman kerja.
b. Carrier : Adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium positif C. Diphteriae.

5. Pengobatan
Pemberian Anti Difteri Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas pada nasal atau permukaan, bila sedang diberikan ADS 60.000 unit dan jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 100.000-120.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan tes sensitifitas.

Antibiotik pilihan adalah Penicillin Procain 50.000 unit/kgBB/hari, diberikan sampai 3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif adalah erythromicyn 50mg/kgBB/hari selama 14 hari.

6. Epidemiologi
Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya, dua pertiga dari yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 1993/1994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas.

Di Indonesia, pada tahun 1997-2002 terjadi KLB difteri di Jambi, Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Pada tahun 2011 dilaporkan beberapa kasus di provinsi Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Sampai minggu ke 39 tahun 2011 telah ditemukan 321 kasus positif difteri (11 kematian) di 34 Kabupaten/ Kota Jawa Timur sedangkan Kalimantan Timur telah dilaporkan 45 kasus pada tahun 2011.

7. KLB dan Penanggulangannya
Penanggulangan KLB Difteri ditujukan pada upaya pengobatan penderita untuk mencegah komplikasi yang berat serta sekaligus menghilangkan sumber penularan.

1) Penyelidikan Epidemiologi KLB
Penyelidikan Epidemiologi dilakukan terhadap setiap adanya 1 kasus difteri, baik dari rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat, yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis, memastikan terjadi KLB dan menentukan kasus tambahan serta kelompok rentan.

a. Pelacakan kasus
Pelacakan kasus ke lapangan sangat penting karena kemungkinan akan didapatkan kasus tambahan. Setiap kasus difteri dilakukan pelacakan dan dicatat dalam formulir penyelidikan KLB difteri Pelacakan ke lapangan sebaiknya segera setelah mendapatkan informasi dari rumah sakit atau sumber lainnya.

b. Identifikasi kontak
Kontak serumah
Kontak serumah didatangi dengan menggunakan form pelacakan difteri, seluruh anggota keluarga diperiksa dan diambil apusan tenggorokan atau apusan hidung. Bagi yang menunjukkan gejala klinis difteri segera dirujuk ke rumah sakit.

Kontak sekolah/ tetangga
Teman sekolah dan teman bermain atau tetangga terdekat indek kasus terutama pada kontak yang ditemukan tanda-tanda faringitis atau pilek-pilek dengan ingus kemerahan, maka segera dilakukan pemeriksaan spesimen/swab tenggorokan. Guru sekolah dapat dimintakan bantuan melakukan pengamatan terhadap anak sekolah yang menunjukkan gejala agar segera melaporkan ke petugas kesehatan

2) Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB difteri ditujukan pada upaya pengobatan penderita untuk mencegah komplikasi yang berat serta sekaligus menghilangkan sumber penularan. Imunisasi diberikan untuk memberikan perlindungan pada kelompok masyarakat rentan.

Adanya satu kasus difteri mengharuskan upaya pencarian kasus lain pada kelompok rentan yang dicurigai, terutama kontak serumah, tetangga, teman sepermainan, teman sekolah atau tempat bekerja, serta upaya pencarian sumber penularan awal atau tempat kemungkinan adanya carrier. Disamping identifikasi kasus baru lainnya, identifikasi cakupan imunisasi pada bayi dan anak sekolah selama 5-10 tahun terakhir perlu dilakukan dengan cermat.

a. Tatalaksana kasus
Kasus probable dirujuk ke Rumah Sakit, rawat dalam ruang terpisah dengan penderita lain. Anti Difteri Serum (ADS) 20.000 Unit intra muskuler diberikan jika membrannya hanya terbatas pada nasal atau permukaan saja, jika sedang diberikan ADS 60.000 unit, sedangkan jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 1000.000 – 120.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan tes sensitivitas.

Antibiotik pilihan adalah penicillin 50.000 unit/kg BB/hari, diberikan sampai 3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif adalah erythomicyn 50mg/kg BB/hari selama 14 hari.

Tracheostomi dapat dilakukan dengan indikasi dyspnea, stridor, epigastric dan suprastenal reaction pada pernafasan.

b. Tatalaksana kontak
Kontak probable dan konfirmasi mendapat pengobatan profilaksis dengan erythromycin 50mg/kg BB selama 7-10 hari.

c. Kegiatan Imunisasi
Imunisasi dilakukan pada lokasi KLB dan dusun-dusun sekitarnya yang memiliki cakupan imunisasi DPT dan DT kurang dari 80%, dengan ketentuan :

  • Anak kurang dari atau sama dengan 3 tahun mendapatkan imunisasi DPT_HB sebanyak 2 dosis dengan selang waktu 1 bulan tanpa memandang status imunisasi sebelumnya.
  • Anak usia 3-7 tahun tahun mendapatkan imunisasi DT
  • Anak usia lebih dari 7 tahun mendapatkan imunisasi Td
Penyakit Difteri