Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Gagal Ginjal Kronik 1gejala-penyakit-ginjal

A. Latar belakang
     Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah gangguan ginjal berupa gangguan struktural yang dapat diketahui dengan pemeriksaan pencitraan ataupun kelainan laboratorik berupa peningkatan ekskresi (pelepasan) albumin urin (mikroalbuminuria/proteinuria), atau adanya eritrosit dalam jumlah yang abnormal di urin (hematuria)

     Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan diseluruh dunia. Di Amerika Serikat terdapat kecenderungan peningkatan insidensi dan prevalensi GGK. Pada penduduk yang berusia di atas 20 tahun diperkirakan prevalensinya adalah 0.1 % (± 300.000 orang) untuk gagal ginjal tahap akhir (GGTA) dan 10.8 % dari populasi dewasa (± 20 juta orang) untuk gagal ginjal kronik stadium awal (Sarnak dkk, 2003). Pasien dengan GGTA akan mengalami gangguan hemodinamik dan metabolik yang akan mengakibatkan terjadinya kardiomiopati dan arteriosklerosis, yang akan mengakibatkan tingginya angka kematian kardiovaskular pada populasi ini (Shamseddin dkk, 2011).

     Kematian akibat penyakit kardiovaskular (PKV) pada penderita PGK menurut beberapa penelitian terbaru telah mengalami peningkatan. Menurut data National Kidney Foundation (NKF) tahun 1998, kejadian PKV dan angka kematian akibat hal ini akan meningkat 10-30 kali lipat pada populasi dialisis dibandingkan populasi umum. NKF merekomendasikan penderita PGK merupakan kelompok risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular dan pengobatannya direkomendasikan berdasarkan stratifikasi risiko terjadinya kejadian kardiovaskular (Sarnak dkk, 2003; Maharaj dkk,2007).

     Terapi pengganti ginjal dengan hemodialisis (HD) merupakan pilihan dalam pengobatan pasien GGTA dalam rangka kelangsungan hidupnya. Hemodialisis ini telah mengalami perkembangan dari segi tehnik pelaksanaan dari dahulu hingga sekarang. Namun angka kematian pada pasien HD masih cukup tinggi. Dari seluruh angka kematian itu, lebih dari setengahnya disebabkan oleh hal yang berhubungan dengan kardiovaskular. Dari data United State Renal Data System (USRDS) di Amerika Serikat tahun 1999, dari seribu pasien HD pertahun tanpa diabetes yang berumur 45-64 tahun, dijumpai 140 kematian, dan 124 kematian diduga berhubungan dengan kardiovaskular (55 kematian mendadak, 27 akibat infark dan 42 akibat penyebab kardiak lainnya). 

     Penelitian selanjutnya menemukan, lebih dari setengah pasien PGK yang mendapat terapi HD kronik meninggal akibat PKV. Penyebab utama kematian akibat PKV adalah gagal jantung, penyakit jantung koroner, dan kematian mendadak akibat dari hiperkalemia ataupun aritmia. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa massa ventrikel kiri merupakan salah satu faktor utama terjadinya PKV pada penderita PGK (Glassock dkk, 2009; Bleyer dkk, 2008). 

     Kejadian aritmia belakangan ini semakin banyak menarik perhatian para peneliti. Kardiak aritmia bertanggungjawab atas kematian akibat kardiovaskular berkisar 20 % (Meier dkk, 2001; Kanbay dkk, 2010). Penyebab paling sering adalah takikardi atau fibrilasi ventrikular yang dapat mengancam nyawa. Aritmia sering terjadi setelah dimulainya sampai sekurangnya 5 jam setelah HD. Kejadian aritmia bergantung pada berbagai faktor antara lain tonus autonomik, dan juga abnormalitas dari struktur anatomi maupun metabolisme otot ventrikel. Ketidakseragaman dalam hal konduksi dan atau repolarisasi pada bagian-bagian ventrikel dapat menjadi pemicu terjadinya takiaritmia. Dispersi yang pasti dari otot miokardium ventrikel dapat diukur dengan metode invasif seperti pengukuran aksi potensial monofasik pada ventrikel kanan dan kiri, maupun pengukuran noninvasif seperti “mapping”. Namun kedua metode ini membutuhkan waktu dan alat yang spesifik, yang akan membatasi kegunaannya dalam praktek sehari-hari (Lorincz dkk, 1999; Santoro dkk, 2008; Kanbay dkk, 2010). 

     Elektrokardiografi ( EKG ) memegang peranan yang penting untuk mengetahui hal ini. Pasien GGTA dengan HD mempunyai berbagai variasi EKG abnormal, dan proses HD itu sendiri dicurigai sebagai penyebab perubahan EKG dan berbagai macam disritmia pada penderita ini (Morris dkk, 1999; Howse dkk, 2002; Stewart dkk, 2005). 

     Dalam praktek sehari-hari, EKG mempunyai kemampuan dalam memprediksi munculnya aritmia ventrikular ataupun relevansi klinisnya. Pada EKG konvensional, interval dan dispersi QT yang memanjang telah dilaporkan mempunyai hubungan dengan terjadinya aritmia pada gagal jantung dan penyakit jantung koroner (Galinier dkk, 1998; Ueda dkk, 2006; Papandonakis dkk, 1999). 

     Studi belakangan ini mengindikasikan variasi interval QT antar sandapan (QT interval dispersi adalah: perbedaan antara interval QT terpanjang dengan interval QT terpendek) lebih baik dalam mencerminkan adanya perbedaan regional pada waktu recovery ventrikel. Interval QT yang diukur pada EKG baik secara manual maupun digital memiliki tingkat keandalan yang baik dan selain itu juga tidak memerlukan beban biaya yang besar (Glancy dkk, 1996; Malik dkk, 2000; Murray dkk, 1997; Darpo dkk, 2006). 

     Penelitian mengenai perubahan EKG (dalam hal ini dispersi interval QT) pada penderita GGTA di Indonesia masih sedikit, sementara dispersi QT dapat dipakai sebagai prediktor untuk kejadian aritmia maupun kematian mendadak dalam kasus ini. Hal inilah yang menjadi latar belakang penelitian ini yaitu untuk melihat pengaruh HD terhadap perubahan dispersi QT serta faktor apa saja yang turut mempengaruhinya, pada penderita GGTA sebelum dan setelah satu siklus HD. 

B. Pendahuluan
     Gagal ginjal tahap akhir (GGTA) memerlukan terapi pengganti ginjal untuk kelangsungan hidupnya. Salah satu terapi pengganti ginjal adalah hemodialisis (HD). Tehnik dialisis telah mengalami kemajuan, namun pasien GGTA dengan HD kronik tetap mempunyai resiko kematian yang tinggi akibat PKV termasuk didalamnya aritmia ventrikular dan kematian mendadak. Pasien HD mempunyai beberapa faktor yang mengakibat hal ini, antara lain adalah malnutrisi, diabetes melitus, anemia, gangguan kalium, hiperparatiroid dan PKV sebelumnya. Suatu studi epidemiologi menyimpulkan munculnya aritmia ventrikular secara klinis akan meningkatkan kerentanan seseorang untuk terjadinya kematian khususnya pada orang dengan penyakit jantung sebelumnya. Terlebih lagi adanya beban volume yang berlebihan dan metabolisme yang tidak normal seperti asidosis metabolik dan gangguan elektrolit akan mempengaruhi fungsi jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak. Pada dialisis yang dilakukan secara berulang, pasien akan menghadapi pergeseran yang besar khususnya dalam hal volume cairan, keseimbangan asam basa, kadar elektrolit (kalium, magnesium, fosfat) yang memberikan konstribusi terhadap kejadian aritmia (Meier dkk, 2001; Howse dkk, 2002). 

     Berbagai penelitian telah mengindikasikan hal-hal yang mungkin sebagai penyebab kematian pada pasien HD antara lain: inflamasi, keadaan uremia, beban volume, keseimbangan autonomik, perpindahan elektrolit yang cepat dan henti jantung. Selain itu faktor resiko tradisional maupun non-tradisional yang dimiliki oleh penderita GGTA dengan HD juga dikatakan memberikan konstribusi besar terhadap kematian (Covic dkk, 2002; Stewart dkk, 2005). 

C. Epidemiologi
     Kematian akibat PKV diperkirakan mencapai 50% pada populasi HD. Menurut data dari United States Renal Data System (USRDS) tahun 1999, angka kematian pada penderita GGTA cukup tinggi dan cenderung meningkat. Pasien GGTA dengan HD kronik mempunyai angka kematian pertahun yang bervariasi antara 6-16 % yang mana PKV merupakan penyebab utamanya. Gagal jantung, aritmia ventrikel, kematian jantung mendadak dan infark akut bertanggungjawab terhadap sekurangnya 40 % kematian akibat PKV ( Tabel.1 ). Henti jantung atau aritmia bertanggungjawab terhadap sekurangnya 20 % akibat kematian jantung. 

     Data dari USRDS juga menunjukkan angka kematian akibat PKV dan serebrovaskular antara tahun 1995 sampai 1997 pada pasien dialisis berumur antara 45-64 tahun menurut jenis kelamin, diabetes dan tehnik dialisa. Data tersebut menyatakan pasien nondiabetes dengan HD dan peritoneal dialisis memiliki resiko kematian kardiovaskular yang sama (61 dan 63 kematian per 1000 pasien pertahun). Pasien diabetes dengan peritoneal dialisis mempunyai angka kematian PKV lebih tinggi dibandingkan pasien diabetes dengan HD (138 dan 100 kematian per 1000 pasien per tahun). Secara umum perbedaan kematian antara HD dan peritoneal dialisis mungkin akibat perbedaan teknis dialisis, komplikasi, obat-obatan, atau dosis dialisis. Setelah dilakukan stratifikasi terhadap umur, ras , jenis kelamin, angka kematian PKV berkisar 10-20 kali lebih tinggi pada pasien HD dibandingkan populasi umum ( Meier dkk, 2001; Sarnak dkk, 2003). 

D. Faktor Risiko Kardiovaskular pada Penyakit Ginjal Kronik
     Penyebab kejadian kardiovaskular pada penderita gagal ginjal adalah multifaktorial. Henrich dkk (2009), membaginya berdasarkan faktor modifiable, non-modifiable dan faktor spesifik yang berhubungan dengan keadaan uremia yang memberikan konstribusi terhadap morbiditas dan mortalitas kejadian kardiovaskular ( Gambar 1 ). Penelitian lain membagi berdasarkan faktor tradisional dan non-tradisional. Pada kenyataannya pembagian ini tidak banyak berbeda. Faktor nonmodifiable mencakup: umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dan diabetes. Faktor modifiable termasuk: hipertensi, dislipidemia, merokok, hyperhomocystein, stress oksidatif, inflamasi dan albumin serum yang rendah. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan keadaan uremia antara lain: anemia, hiperparatiroid hormon, hiperfosfat, peningkatan CRP, dan albuminuria. Keseluruhan faktor ini bersifat additif atau akan saling memperberat timbulnya PKV (Heinrich dkk, 2009; Maharaj dkk, 2007; Sarnak dkk, 2003). 

     Seluruh faktor-faktor ini akan meningkatkan arterial stiffness dan tekanan darah. Selanjutnya akan meningkatkan stress ventrikel kiri. Arterial stiffness akan meningkatkan pulse wave velocity, yang merupakan faktor risiko independen terhadap kejadian kardiovaskular. Faktor-faktor tersebut juga berperan dalam terbentuknya serta memberatnya proses aterosklerosis. Hasil dari kelainan ini akan terakumulasi dan biasanya akan terlihat pada PGK tahap akhir berupa perubahan morfologi ventrikel kiri dari waktu kewaktu. Sebagai contoh, setelah lama terkena peningkatan tekanan darah dan peningkatan afterload yang juga berkaitan dengan keadaan anemia, hiperparatiroid, dan sirkulasi angiotensin II yang meningkat dalam darah dapat terbentuk hipertrofi ventrikel kiri. Kelainan ventrikel seperti ini ditandai dengan penebalan miosit dari ventrikel kiri, fraksi ejeksi dan volume ventrikel kiri yang sedikit menurun (preserved), namun disertai penurunan distensi ventrikel kiri akibat dari kekakuan ventrikel. 

     Faktor yang terlibat dalam patogenesis hipertrofi ventrikel kiri dan fibrosis pada pasien PGK secara umum dibagi dalam tiga kelompok: (1). afterload (2) preload (3) bukan masalah afterload atau preload (Sarnak dkk, 2003; Berl dkk, 2006; Parfrey dkk, 1999). 

     Faktor yang berhubungan dengan afterload melibatkan tahanan arterial sistemik, peningkatan tekanan darah sistolik (dan diastolik), dan compliance pembuluh darah besar. Semua faktor ini akan menghasilkan penebalan sel miokardium dan remodeling ventrikel kiri secara konsentrik. Aktifasi sistem renin angiotensin (RAS) intrakardiak juga terlibat dalam hal ini, namun angiotensin II dan aldosteron juga dapat terlibat terlepas dari adanya beban afterload. Jalur non-angiotensin II yang merangsang hipertrofi ventrikel kiri (HVK) dengan peregangan mekanis telah diidentifikasikan. Baru-baru ini, stress oksidatif dan aktifasi dari xanthine oksidase juga mempengaruhi terjadinya HVK yang disebabkan afterload

     Faktor yang berhubungan dengan beban preload melibatkan ekspansi volume intravaskular (garam dan cairan), anemia dan juga pada pasien dengan HD adanya aliran besar pada akses arteri-vena fistula. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan sel miokardium akan memanjang dan terjadilah remodelling ventrikel kiri secara eksentrik atau asimetris. Baik afterload maupun preload dapat berperan secara simultan dan sinergis. Dengan demikian tidaklah mudah untuk memisahkan mana efek preload dan afterload pada patogenesis HVK pada penderita gagal ginjal. Namun dikatakan bahwa kelebihan beban berhubungan dengan restriksi garam yang tidak adekuat dan ultrafiltrasi memainkan peranan yang penting. 

     Tanpa memandang penyebab dasarnya, hipertrofi miokard dan iskemik miosit menyebabkan apoptosis sel dan terjadinya mekanisme autophagia dan hal ini akan meningkatkan produksi dari matriks extraselular yang mengakibatkan fibrosis sel intermiokard. Hal ini mengakibatkan gangguan yang progresif pada kontraktilitas dan kekakuan dinding miokard, berdampak pada terjadinyaa disfungsi sistolik dan diastolik dan selanjutnya menyebabkan kardiomiopati dilatasi dan gagal jantung diastolik dan atau sistolik. Fibrosis pada intermiokard juga akan mengakibatkan gangguan hantaran listrik jantung dan dapat terjadi aritmia ventrikular. Penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi akibat dari proses aterosklerosis yang dipercepat akibat peningkatan kerja jantung dan konsumsi oksigen dimana hal ini akan meningkatkan terjadinya kematian sel dan fibrosis. 

     Kekakuan dinding pembuluh darah besar yang disebabkan ikatan kolagen dan kalsifikasi dapat meningkatkan hipertrofi ventrikel dan meningkatkan tahanan perifer akibat dari vasokonstriksi perifer dapat meningkatkan tekanan arteri sistemik. Peningkatan konsentrasi natrium plasma dapat merangsang kekakuan endotel pembuluh darah dan mengganggu pelepasan vasodilator nitric oxide ke dalam mikrosirkulasi. 

     Hiperaldosteron yang menetap, sebagai konsekuensi aktifasi RAS atau non-RAS faktor, dapat mengakibatkan fibrosis miokardium, melalui pembentukan profibrotik growth factor β. Keadaan defisiensi, seperti besi dan atau eritropoetin (dengan anemia), juga defisinsi carnitine dapat menghasilkan HVK. 

     Sebagai kesimpulannya, faktor yang terlibat dalam patogenesis HVK dan fibrosis miokardium pada pasien PGK sangat kompleks dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Tahanan arteri sistemik, kekakuan pembuluh darah besar (afterload), hipervolemia dan anemia (preload) dianggap sebagai faktor terpenting, dengan hipervolemia diasumsikan sebagai faktor yang sangat dominan. 

E. Prinsip Dasar Hemodialisis
     Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan untuk mengeliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat melalui selaput membrane semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (dialiser). Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput membran semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialisat. Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung sisa metabolisme nitrogen. 

     Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi tinggi ke arah konsentrasi rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafiltrasi. Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zat terlarut yang berpindah. Senyawa dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding dengan yang berat molekulnya lebih rendah. Kecepatan perpindahan zat terlarut makin tinggi bila (1) perbedaan konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrostatik di kompartemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di kompartemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi. Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompartemen (Sukandar, 2006 ; Roesli, 2008) 

F. Hemodialisis dan Kardiovaskular
     Hemodialisis (HD) merupakan terapi pengganti ginjal pilihan bagi penderita GGTA. Namun prosesnya mempunyai efek tehadap kejadian kardiovaskular. Prosedur ini tidak seperti prosedur lain, yang mana HD akan terus diulang dan diulang lagi. Stimulus yang sering dan berulang ini (sekurangnya tiga kali seminggu) akan menempatkan pasien pada resiko yang tinggi secara berkelanjutan. Hemodialisis menyebabkan “stress cardiac” dalam usaha menggantikan fungsi ginjal yang seharusnya 168 jam dalam seminggu menjadi 12 jam. Selama berlangsungnya proses HD ini akan disertai dengan perubahan yang besar dari elektrolit, tekanan osmotik dan cairan (Kanbay dkk, 2010; Bleyer dkk, 2008). 

     Meskipun tehnik HD telah mengalami kemajuan, kematian akibat kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbesar pada pasien dengan kronik HD. Hampir separuh kematian pada regular HD adalah akibat infark miokardium dan henti jantung. Pada kenyataannya diantara pasien kronik regular HD dijumpainya diabetes, anemia, hipertiroid dan hipertensi menyebabkan kelainan struktural jantung. Selanjutnya kelebihan cairan , abnormalitas metabolisme tubuh seperti asidosis metabolik , gangguan kalium dan magnesium akan mengakibatkan meningkatnya resiko aritmia ventrikel dan kematian mendadak secara signifikan (Santoro dkk, 2008). 

     Aritmia dapat terjadi akibat dari perubahan yang cepat dari elektrolit intraselular maupun ekstraselular selama sesi HD. Pada jantung akan mengakibatkan suatu keadaan iskemia maupun fibrosis miokard. Pada pasien GGTA dengan HD reguler sering dijumpai gangguan keseimbangan elektrolit seperti kalsium, kalium dan magnesium. Ketidakseimbangan ini mempengaruhi potensial membran sel otot jantung pada saat istirahat, sehingga menyebabkan perubahan pada interval QT. Peningkatan interval QT dapat menyebabkan kejadian aritmia dan kematian pada keadaan ini. Dispersi QT merupakan pengukuran non-invasif bermanfaat untuk menilai inhomogenitas repolarisasi miokard dan predisposisi terjadinya aritmia (Covic dkk, 2002; Ijoma dkk) 

     Penyakit kardiovaskular termasuk kematian mendadak, infark miokardium, henti jantung dan aritmia yang mengancam dan penyebab kardiak lain merupakan penyebab kematian utama sekitar 43 % dari semua kematian pada pasien dengan dialisis baik HD maupun peritoneal dialisis ( Kanbay dkk, 2010; Henry dkk, 2002 ). Pada HD reguler angka kematian akibat henti jantung melebihi akibat angka kematian akibat sepsis, infeksi paru maupun keganasan dan stroke. Menurut data USRDS penyebab kematian paling banyak adalah aritmia. Sudah sejak lama diketahui bahwa kematian mendadak (KM) merupakan penyebab kematian utama pada pasien dialisis khususnya dengan diabetes, dan KM telah diidentifikasi sebagai salah satu penyebab kematian utama dalam dua penelitian berskala nasional di Amerika Serikat yang memakai sampel pasien HD. Henti jantung yang merupakan penyebab kematian mendadak pada pasien HD, ditandai dengan kematian jangka pendek yang ekstrem tinggi. Penelitian oleh Karnik dkk, 2001, dengan 400 pasien HD menyatakan bahwa angka kematian 48 jam pertama akibat henti jantung sebesar 60 %. 

     Penelitian oleh Kanbay dkk, 2010, menggambarkan secara skematis penyebab kematian mendadak pada pasien HD (Gambar 4). Beberapa mekanisme yang dianggap bertanggungjawab terhadap morbiditas dan mortalitas pada hemodialis adalah sbb:
 
a. Hipertrofi ventrikel kiri dan gagal jantung
     Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sering dijumpai pada pasien HD baik tipe konsentrik maupun eksentrik. Beberapa penelitian menunjukkan HVK adalah indikator bebas yang kuat dalam hal mortalitas dan juga faktor yang menentukan untuk terjadi aritmia pada pasien HD. Selanjutnya beberapa studi menunjukkan gagal jantung dan disfungsi sistolik sering dijumpai pada pasien HD dan hal ini akan memperburuk prognosis. Dalam satu studi, usia tua dan disfungsi ventrikel kiri merupakan indikator bebas dalam terbentuknya aritmia pada pasien HD (Rempiss dkk, 2008; Parfrey dkk, 1999). 

b. Adanya fibrosis pada interstisial miokardium dan microvessel disease
     Telah diketahui bahwa fibrosis dapat mengakibatkan terjadinya aritmia. Jika jaringan fibrosis dengan tahanan listrik tinggi berada diantara miosit akan mengakibatkan hambatan lokal dalam penyebaran aksi potensial yang memudahkan terjadinya aritmia reentry atrial dan ventrikular (Chen dkk, 2006). Kelainan stuktur jantung yang lain pada keadaan uremia adalah penyakit microvessel dan defisit kapiler (capillary / myocyte mismatch). Hal ini terjadi akibat pertumbuhan kapiler yang tidak adekuat sebagai respon terhadap hipertrofi jantung. Hal ini akan mengakibatkan kebutuhan oksigen meningkat sehingga terjadi relatif iskemia, yang merupakan faktor resiko terjadinya aritmia khususnya selama proses HD. Sehingga dikatakan PJK sering dijumpai pada GGTA dengan atau tanpa gejala infark sebelumnya yang merupakan pencetus terjadinya kematian mendadak (Ritz dkk, 2008). 

c. Perpindahan elektrolit yang cepat dan hipervolemia
     Kematian dan morbiditas pada pasien HD sering terjadi beberapa jam setelah HD dimulai dan sebelum HD hari berikutnya dimulai. Kematian mendadak sering juga terjadi setelah periode interdialisis yang panjang. Hal ini secara tidak langsung menyatakan pergeseran elektrolit yang cepat dan kelebihan volume dapat memicu kematian mendadak (Bleyer dkk, 2008). 

d. Dispersi gelombang QT
     Dispersi QT telah dikenal sebagai parameter noninvasif yang dapat memprediksi meningkatnya resiko terjadinya aritmia yang mengancam. Pasien HD mempunyai dispersi dan interval QT yang memanjang. Satu siklus HD lebih lanjut dapat meningkatkan dispersi QT baik pada dewasa maupun anak. Pasien HD dengan QT dispersi > 74 ms mempunyai risiko tinggi untuk aritmia ventrikular yang mengancam dan kematian mendadak (Beaubien dkk, 2002). Penelitian terbaru menduga acquired long QT syndrome merupakan salah satu pencetus KM. Hal ini akibat penurunan saluran ion K+ (menurunkan cadangan repolarisasi) dan meningkatnya sensitifitas ion K+ yang tersisa untuk inhibisi (Gussak dkk, 2007). Genovasi dkk (2008), meneliti mengenai efek perbedaan kombinasi dari konsentrasi kalium dan kalsium terhadap QT interval pada pasien HD. Ditemukan bahwa kombinasi dari konsentrasi kalium dan kalsium yang rendah pada dialisat berhubungan dengan nilai QT yang semakin panjang selama dan segera setelah satu sesi HD, sedangkan konsentrasi kalium dan kalsium yang tinggi akan ditemukan nilai QT interval yang memendek selama kondisi ini. Juga ada variasi genetik dari sindroma long QT . Sesi HD dapat mencetuskan KM pada pasien dengan variasi genetik long QT yang tidak dikenal. Pasien ini ditandai dengan disfungsi saluran ion yang dikenal sebagai channelopathy

e. Hiperaktifitas dari simpatis
     Pada studi sebelumnya telah dikatakan aktifitas simpatis yang berlebih merupakan indikator risiko kardiovaskular. Konsentrasi norepinefrin plasma merupakan prediktor kematian dan kejadian kardiovaskular pada HD tanpa gagal jantung. Sistem saraf simpatis bekerja melalui reseptor β1 dan β2 yang meningkatkan denyut jantung yang bukan saja dapat memperburuk kebutuhan dan suplai oksigen tetapi juga merangsang hipertrofi kardiak dan fibrosis yang merupakan faktor resiko untuk kematian mendadak. 

f. Hipertensi
     Hipertensi merupakan penyebab aritmia pada sindroma uremia. De Lima dkk (1999), menemukan penyakit jantung koroner (PJK) dan hipertensi merupakan penentu dalam terjadinya aritmia ventrikular pada pasien GGTA. Studi lain menyatakan bahwa hipertensi bersama dengan diabetes dan usia merupakan prediktor aritmia pada pasien uremia. Hipertensi mengakibatkan mekanikal stress dan memprovokasi iskemia, khususnya pada pasien dengan HVK atau fibrosis. 

g. Mekanisme Renin Angiotensin Aldosteron Sistem
     Pada percobaan dengan hewan, pengeluaran yang berlebihan dari angiotensin II berhubungan dengan kematian. Pada manusia hal ini masih menjadi perdebatan. 

h. Penumpukan kalsium dan fosfat
     Penumpukan kalsium dan fosfat pada ruang interstitial dan pada dinding arteri intra miokard mungkin merupakan salah satu mekanisme terjadinya PKV pada pasien HD. Juga dihipotesiskan bahwa hiperfosfatemia mempengaruhi intracellular handling dari kalsium dan mempengaruhi stabilitas elektrik. Kalsium-fosfat mempercepat terbentuknya faktor yang menyebabkan kondisi abnormal dan terbentuknya late potential pada PGK. 

i. Keadaan inflamasi
     Dengan begitu tingginya angka mortalitas akibat PKV pada pasien HD, beberapa penelitian mencoba mencari hubungannya dengan inflamasi. Dalam suatu studi besar dengan 1041 pasien HD, menunjukkan bahwa mortalitas berhubungan dengan inflamasi . Hubungan ini bersifat langsung dan terlepas dari faktor resiko tradisional kardiovaskular. Inflamasi dapat merangsang KM melalui ateroskerosis atau efek langsung pada miokard dan sistem konduksi listrik (Parekh dkk, 2008). 

j. Faktor lain
     Seperti: anemia, dislipidemia, hiperhomosistein, disfungsi endotel, penurunan cadangan perfusi, berkurangnya toleransi terhadap iskemia dan gangguan keseimbangan asam basa dicurigai sebagai faktor risiko lain dan berperan terhadap meningkatnya kerentanan paasien HD terhadap kematian mendadak (Herzog dkk, 2008).
 
G. Interval dan Dispersi Gelombang QT
     Interval QT merupakan pencerminan dari penjumlahan durasi potensial aksi ventrikular. Interval QT akan memendek seiring dengan peningkatan denyut nadi dan umumnya dikoreksi dengan mengunakan rumus dari Bazett yang memiliki nilai keterbatasan (Zabel dkk, 2000). Nilai normal interval QT yang terkoreksi lebih pendek pada pria dibandingkan dengan perempuan. Pengukuran interval QT dipengaruhi oleh penggunaan sandapan elektroda yang tersedia untuk analisis hasil rekaman EKG (Macfarlane dkk, 1998). Pengukuran interval QT telah terbukti cukup baik dalam hal kesahihan (Sahu dkk, 2000; Lund dkk, 2001). 

     Interval QT yang memanjang telah dikaitkan dengan kematian dalam beberapa penelitian observasional pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, namun tidak pada kondisi yang lain. Hubungan antara interval QT dengan risiko kardiovaskular secara keseluruhan telah terbukti pada populasi besar. Elming dkk (1998) dan Okin dkk (2000) telah meneliti manfaat dispersi QT pada populasi di Denmark dan Indian Amerika. Penelitian tentang interval QT sebagai prediktor terhadap kematian jantung mendadak pada individu tanpa sindroma QT memanjang memperlihatkan hasil yang bervariasi, namun secara umum interval QT yang memanjang meningkatkan resiko terhadap kematian (Spargias dkk, 1999; Choi dkk, 1999; Lazar dkk, 2008; Brooksby dkk, 1999). Variabilitas intra-observer dan inter-observer masih dapat diterima. 

     Dispersi QT adalah perbedaan maksimal antara interval QT pada EKG, dipostulasikan sebagai cerminan pemulihan miokard dan dihubungkan dengan resiko terjadinya aritmia. Pada beberapa penelitian observasi, QT dispersi dinyatakan berkaitan dengan meningkatnya resiko kematian. Perubahan dinamis interval QT selama periode perekaman dianggap sebagai petanda ketidakstabilan repolarisasi yang berkaitan dengan kerentanan terjadinya aritmia (Murray dkk, 1997; Malik dkk, 2000). 

H. Pengukuran Dispersi QT
     Sampai saat ini terdapat dua macam metode pengukuran dispersi QT, yaitu secara otomatis dan manual. Namun telah diketahui sejak beberapa waktu lalu bahwa penentuan akhir gelombang T sulit dipercaya. Akan tetapi pengukuran otomatis yang tersedia tidak berhasil memperlihatkan superioritasnya terhadap metode manual. Sumber kesalahan yang utama bagi ke dua metode pengukuran tersebut adalah amplitude gelombang T yang rendah serta bergabungnya gelombang T dengan gelombang U dan atau gelombang P. Morfologi gelombang T juga sangat mempengaruhi pengukuran QT interval. Terdapat beberapa algoritme dasar untuk menentukan secara otomatis akhir gelombang T. Metode “threshold” melokalisir akhir T sebagai penanda gelombang T atau bagian dari threshold di atas garis isolektrik yang biasanya mencerminkan sebagai bagian persentase amplitudo gelombang T. Jelaslah bahwa nilai interval QT bergantung kepada bentuk dari bagian gelombang T yang menurun. Amplitudo gelombang T mempengaruhi realibilitas pengukuran baik otomatis ataupun manual ( Malik dkk, 2000; Macfarlene dkk, 1998). 

I. Interval dan Dispersi Gelombang QT pada Hemodialisis
     Seperti telah dijelaskan sebelumnya, banyak pasien HD meninggal akibat PKV. Meskipun pasien HD memiliki banyak variasi dari gangguan EKG, namun satu sesi HD itu sendiri akan mengakibatkan gangguan elektrofisiologi jantung. Aritmia sering didapati setelah permulaan HD dan sekurangnya 4-5 jam setelah proses ini berakhir. Terbentuknya aritmia ini tergantung beberapa faktor antara lain: tonus automatisasi dan abnormalitas struktur anatomi maupun metabolisme ventrikel. Hal inilah yang sangat berperan terhadap terbentuknya aritmia ventrikel (Meier dkk, 2001). 

     Gangguan elektrofisiologi ini utamanya berasal dari aritmia ventrikular khususnya ventrikular takikardi (VT) dan ventrikular fibrilasi (VF) yang diakibatkan beberapa mekanisme. Pengamatan yang dilakukan menduga kejadian kematian mendadak dari VF merupakan akibat dari pengaruh 2 faktor yaitu : adanya pencetus yang akan menginisiasi VT dan degenerasi VT menjadi VF. 

     Triggered automaticity. Depolarisasi normal dari sel otot jantung melibatkan aliran masuk yang cepat dari ion positif ( natrium dan kalsium ). Dilain pihak, repolarisasi sel miokardium terjadi ketika aliran keluar dari ion positif ( kalium ) melebihi penurunan aliran masuk ion natrium dan kalsium. Tergantung dari saluran mana yang mengalami malfungsi, sebagai hasilnya dapat terjadi aliran keluar dari ion kalium yang tidak adekuat atau aliran masuk natrium yang berlebihan. Kelebihan ion positif intrasel selanjutnya akan menunda repolarisasi ventrikel. Pemanjangan masa repolarisasi selanjutnya akan menunda pengnonaktifan saluran kalsium. Hasil dari lambatnya aliran masuk kalsium akan menyebabkan terbentuknya early afterdepolarisation (AEDs). Beberapa bagian ventrikel khususnya bagian subendokardium yang dalam, akan menunjukkan pemanjangan repolarisasi dan AEDs. Hasil dari heterogenitas repolarisasi ini adalah terjadinya onset dari aritmia reentrant yang khusus. 

     Kebanyakan AEDs berada dibawah ambang batas dan tidak menunjukkan efek klinis yang nyata. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, amplitudo dari osilasi ini meningkat dan dapat mencapai ambang batas potensial, merangsang suatu aksi potensial yang spontan. Jika proses ini terus berlanjut akan menyebabkan takiaritmia yang menetap. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan aliran masuk kalsium sehingga meningkatkan amplitudo AEDs adalah rangsangan sistem saraf simpatis. Schwartz dkk melaporkan, rangsangan dari ganglion stellate kiri menyebabkan memanjangnya durasi aksi potensial atau waktu depolarisasi, yang pada EKG bermanifestasi sebagai pemanjangan dari interval QT ( Meier dkk, 2001). 

     Reentry. Merupakan mekanisme yang berperan terhadap terjadinya VT secara klinis, termasuk VT dan VF yang berhubungan dengan penyakit jantung iskemik. Takiaritmia ventrikel merupakan penyebab utama kematian mendadak pada penyakit jantung iskemik. Studi dari Chung dkk, melakukan pemetaan kardiak intraoperatif dan menganalisa urutan lokasi miokard yang menginisiasi terjadi VT sustained maupun non-sustained. Hal yang menentukan jenis VT ini adalah lokasi dimana terjadi aktifitas tercepat selama inisiasi dan pemeliharaan. VT sustained biasanya menginisiasi satu tempat dan berpindah ke tempat inisiasi lain pada denyut selanjutnya. VT nonsustained menginisiasi dan menjaga tempat berlawanan dengan sustained VT. Reentry tergantung dari terbentuknya keterlambatan konduksi. Studi terbaru menemukan adanya perubahan histomorfologi miokardium berupa fibrosis interstisial pada penderita uremia dan HD kronis yang berperan untuk terjadinya aritmia ventrikel. Propagasi ireguler dan fragmentasi dari tenaga elektromotif pada perbatasan daerah yang masih baik dan yang telah mengalami parut dinyatakan bertanggungjawab untuk terjadinya VT sustained akibat reentry. Studi histomorfologis pada jantung pasien uremia dan HD kronis menunjukkan adanya fibrosis intermiokardium, yang dapat mengakibatkan ketidakstabilan rangsangan listrik dan mencetuskan terjadinya reentry.
 
     Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada bukti epidemiologi yang menyatakan bahwa terjadinya aritmia ventrikel yang signifikan, khususnya dengan adanya penyakit jantung yang mendasarinya, akan meningkatkan pasien HD dalam kerentanan yang tinggi untuk terjadinya aritmia yang fatal. Penelitian oleh Kimura dkk, menemukan bahwa insiden Premature ventricular contraction (PVC) secara signifikan meningkat selama HD dan 4 jam setelahnya dbandingkan sebelum HD (p < 0.05). Non-sustained VT juga sering muncul selama HD. Interval dan dispersi QT yang memanjang telah dikenal sebagai cerminan ketidakseragaman recovery dari rangsangan ventrikel. Interval QT, dispersi QT, QT terkoreksi (QTc), dispersi QT terkoreksi (QTcd) lebih panjang pada pasien kronik HD dibandingkan kontrol, dan meningkat setelah HD seperti pada pasien tanpa uremia setelah infark miokardium. Selama HD ion kalium dan fosfat turun serta kalsium naik secara signifikan dengan p < 0.001 ( Meier dkk, 2001). 

     Dalam beberapa penelitian, pelebaran dari dispersi QT merupakan faktor resiko untuk aritmia pada penderita setelah infark miokardium, gagal jantung, penyakit pembuluh darah perifer dan aritmia akibat obat-obatan. Penelitian tersebut juga menunjukkan pelebaran dispersi QT dapat membaik setelah pemberian enalapril, dan pemberian trombolitik pada kasus infark akut. Dispersi QT juga dapat memprediksi kematian pada populasi umum. Pada pasien PGK dengan HD hal ini dipengaruhi oleh perpindahan kalium selama dialisis. Dispersi QT secara signifikan akan memanjang pada pasien yang mendapat terapi HD pada awal dan akan memanjang setelah HD. Pada suatu studi pada 34 pasien nondiabetes dengan HD yang memakai kalium standard 2.0 mEq, dispersi QT meningkat dari 56 ± 15 menjadi 85± 12 ms (p<0.001). Pada studi lain, QT dispersi terkoreksi meningkat selama dialisis yang memakai kalium pada dialisat sebesar 2 mEq/L, namun tidak berubah jika dialisat tersebut disesuaikan sehingga kalium serum tidak berubah konsentrasinya (Bleyer, 2008). 

     Mekanisme pemanjangan dispersi QT pada kronik HD adalah multifaktor. Terjadinya aritmogenesis tergantung tonus autonom, struktur dan metabolisme ventrikel yang abnormal, perbedaan tekanan dinding ventrikel regional dan hipertrofi miosit ( Meier dkk, 2001). 


1 komentar: