A. LATAR BELAKANG
Dismenore merupakan suatu gejala rasa sakit atau rasa tidak enak diperut bagian bawah pada masa menstruasi sampai dapat menggangu aktifitas sehari-hari yang paling sering ditemui pada wanita muda dan reproduktif. Dismenore adalah keluhan yang paling sering menyebabkan wanita muda pergi ke dokter untuk konsultasi dan mendapatkan pengobatan (Winknjosastro, 2007).
Prevalensi dismenore dalam beberapa penelitian menunjukkan frekuensi yang cukup tinggi. Dalam suatu systemic review WHO, rata-rata insidensi terjadinya dismenore pada wanita muda antara 16,8 – 81%. Di Inggris dilaporkan 45 -97% wanita dengan keluhan dismenore, dimana prevalensi hampir sama ditemui di negara-negara Eropa. Prevalensi terendah dijumpai di Bulgaria (8,8%) dan prevalensi tertinggi di negara Finlandia (94%) (Latthe, 2006).
Di Indonesia dismenore juga merupakan keluhan yang sering ditemukan pada wanita usia muda. Menurut Ernawati dkk (2010), dalam suatu penelitian pada 50 orang Mahasiswi di Semarang ditemukan kejadian dismenore ringan sebanyak 18%, dismenore sedang 62% dan dismenore berat 20%.
Rasa ketidak nyamanan dari dismenore akan mempengaruhi secara emosional dan fisik secara individu sehingga diperlukannya tindakan ataupun pengobatan untuk mengatasi rasa sakit saat menstruasi ini. Dismenore sering menjadi alasan seorang mahasiswa untuk tidak masuk mengikuti perkuliahan sehingga akan menganggu prestasi belajar. Bagi wanita yang bekerja, dismenore akan sangat mengganggu aktifitas sehingga akan dapat menurunkan produktifitas dan kualitas kerja. Di Amerika Serikat, dalam suatu data review ditemukan bahwa 600 juta jam kerja hilang akibat dari dismenore yang mengakibatkan suatu kerugian secara ekonomi sampai 2 milliar dolar Amerika (Zhu X, et al. 2009). Menurut Singh (2008), pada sebuah penelitian di India terhadap mahasiswi kedokteran ditemukan 31,67% mengalami dismenore dan 8,68% diantaranya tidak dapat mengikuti perkuliahan akibat gangguan menstruasi ini. Sedangkan di Indonesia, dalam suatu penelitian yang dilakukan pada 100 wanita antara usia 15 – 30 tahun didapati 71% mengalami dismenore dimana 5,6% tidak masuk sekolah atau tidak bekerja, dan 59,2% mengalami kemunduran produktifitas kerja akibat dismenore (Novia, 2006).
Obat-obatan penghilang rasa sakit sering kali digunakan oleh wanita yang mengalami dismenore atau nyeri haid. Terkadang obat-obatan ini dibeli tanpa adanya resep dari dokter. Sehingga dalam penggunaannya sering kali mendatangkan efek samping yang tidak diinginkan jika penggunaan obat-obatan ini tidak sesuai dengan dosis dan indikasi tepat. Obat-obatan yang sering digunakan adalah Obat Anti Inflamsi Non Steroid, seperti asam mefenamat, ibuprofen, piroxicam dan lain-lain. Dalam sebuah data review, dikatakan bahwa sekitar 20-25% penggunaan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid untuk mengatasi dismenore dapat gagal ditambah lagi dengan adanya kemungkinan mengalami gangguan gastrointestinal pada pemakaian obat ini (Zhu X, et al. 2009).
Obat Anti Inflmasi Non-Steroid ini bekerja sebagai antiprostaglandin, dimana dismenore erat kaitannya dengan peningkatan kadar prostaglandin menjelang menstruasi. Endometrium pada fase sekresi memproduksi prostaglandin yang menyebabkan kontraksi otot-otot polos. Jika produksi dari prostaglandin ini berlebihan maka akan dapat mengakibatkan kram pada otot-otot uterus, yang kemudian akan menyebabkan iskemik dan akhirnya menimbulkan rasa nyari (Singh, 2008). Sehingga dengan melakukan penghambatan terhadap produksi prostaglandin diharapkan dapat mengurangi rasa sakit, termasuk rasa sakit saat haid atau dismenore.
Vitamin E disebut juga dengan tokoferol merupakan senyawa 6-hidroksikromana (tokol) yang banyak ditemukan dalam bahan makanan. Vitamin E diketahui mempunyai peranan dalam penghambatan biosintesis prostaglandin. Dalam suatu studi in vitro dan in vivo pada tikus ditemukan bahwa produksi prostaglandin dapat dipengaruhi oleh vitamin E dengan menekan aktivitas enzim fosfolipase A2 sehingga menekan metabolisme dari asam arakidonat. Vitamin E juga meningkatkan produksi dari prostasiklin yang mempunyai efek terhadap vasodilator dan relaksasi terhadap otot uterus. Oleh karena itu vitamin E dianggap mempunyai efek dalam mengurangi nyeri haid (dawood, 2006). Menurut Lefebvre dkk (2005), mengatakan bahwa konsumsi vitamin E sehari hari dibandingkan dengan pemberian ibuprofen pada saat haid tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam mengatasi rasa nyeri haid. Menurut cunningham dkk (2008), pemberian vitamin E secara oral merupakan salah satu terapi alternatif dalam penanganan nyeri haid, namun masih berdasarkan dari data yang terbatas.
Adanya peranan vitamin E sebagai terapi alternatif dalam pengobatan dismenore, mendorong peneliti melakukan penelitian untuk melihat efektifitas vitamin E dalam mengurangi intensitas nyeri haid.
B. RUMUSAN MASALAH
Vitamin E mempunyai peranan dalam penghambatan sintesis prostaglandin yang berkaitan terhadap timbulnya rasa sakit pada waktu haid. Wanita yang mengalami nyeri haid sering sekali menggunakan NSAID sebagai obat analgesik untuk meredakan rasa sakit, namun seperti diketahui bahwa pengunaan NSAID secara rutin tentunya akan mempunyai efek samping. Oleh karena itu Vitamin E selain sebagai antioksidan, suplemen vitamin E dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam mengurangi nyeri haid. Untuk itu peneliti merumuskan pertanyaan penelitian : Bagaimana efektifitas pemberian vitamin E dalam mengurangi rasa nyeri haid yang dinilai dengan visual assesment tool sebagai penilaian terhadap intensitas rasa nyeri.
C. TINJAUAN PUSTAKA
1. DISMENORE
Dismenore atau nyeri haid merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh wanita usia reproduktif. Nyeri atau rasa sakit yang siklik bersamaan dengan menstruasi ini sering dirasakan seperti rasa kram pada perut dan dapat disertai dengan rasa sakit yang menjalar ke punggung, dengan rasa mual dan muntah, sakit kepala ataupun diare. Oleh karena itu, istilah dismenore hanya dipakai jika nyeri haid tersebut demikian hebatnya, sehingga memaksa penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari untuk beberapa jam atau beberapa hari (Winknjosastro, 2007). Dismenore (dysmenorrhoea) berasal dari bahasa Yunani, diman “dys” bearti gangguan/nyeri hebat / abnormalitas, “meno” berati bulan dan “rrhea” berarti aliran, sehingga dismenore (dysmenorrhoea) dapat diartikan dengan gangguan aliran darah haid.
2. KLASIFIKASI
Dismenore dapat dibagi atas 2 bagian berdasarkan kelainan ginekologi, antara lain :
a. Dismenore Primer
Merupakan nyeri haid yang tidak terdapat hubungan dengan kelaiann ginekologi, atau kelainan secara anatomik. Kejadian dismenore primer ini tidak berhubungan dengan umur, ras maupun status ekonomi. Namun derajat nyeri yang dirasakan serta durasi mempunyai hubungan dengan usia saat menarche, lamanya menstruasi, merokok dan adanya peningkatan Index Massa Tubuh. Sebaliknya gejala dismenore primer ini semakin berkurang jika dikaitkan dengan jumlah paritas.
b. Dismenore Sekunder
Nyeri haid yang disebabkan oleh kelainan ginekologi atau kelainan secara anatomi. Gejala dismenore sekunder ini dapat ditemukan pada wanita dengan endometriosis, adenomiosis, obstruksi pada saluran genitaia, dan lain-lain. Sehingga pada wanita dengan dismenore sekunder ini juga dapat ditemukan dengan komplikasi lain seperti dyspareunia, dysuria, perdarahan uterus abnormal, infertilitas dan lain-lain.
3. PATOFISIOLOGI
Sebelumnya banyak faktor yang dikaitkan dengan kejadian dismenore, seperti keadaan emosional / psikis, adanya obstruksi kanalis servikalis, ketidak seimbangan endokrin, dan alergi. Namun sekarang timbulnya dismenore sering dikaitkan dengan adanya peningkatan kadar prostaglandin. Dimana diketahui bahwa prostaglandin mempunyai efek yang dapat meningkatkan kontraktilitas dari otot uterus. Dan juga prostaglandin mempunyai efek vasokontriksi yang pada akhirnya dapat menyebabkan iskemi pada otot uterus yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Konsentrasi prostaglandin selama siklus haid terjadi peningkatan yang bermakna. Ditemukan kadar PGE2 dan PGF2α sangat tinggi dalam endometrium, myometrium dan darah haid wanita yang menderita nyeri haid primer (Mayo, 1997). Wanita dengan dismenore berat mempunyai kadar prostaglandin yang tinggi selama masa siklus haid, konsentrasi tinggi ini terjadi selama 2 hari dari fase menstruasi (cunningham, 2008).
4. DIAGNOSIS
Pada kebanyakan kasus wanita dengan gejala yang khas seperti rasa nyeri pada perut bagian bawah yang muncul bersamaan saat haid dan menghilang dengan pemberian terapi empirik dapat diduga dengan diagnosa dismenore primer (cunningham, 2008). Menurut Lefebvre (2005), dikatakan bahwa dismenore primer ditandai dengan adanya rasa nyeri pada daerah supra pubik yang terjadi beberapa jam sebelum dan sesudah keluarnya darah haid, namun terkadang rasa nyeri akan dapat dirasakan selama dua sampai tiga hari haid. Dapat disertai dengan adanya keluhan-keluhan lain seperti diare, mual dan muntah, rasa lemah, sakit kepala, pusing, bahkan dapat juga dijumpai demam hingga hilangnya kesadaran.
Keluhan rasa nyeri pada saat haid dengan adanya temuan massa pada pelvik, vaginal discharge yang abnormal, daerah pelvik yang tegang, wanita dengan risiko terhadap penyakit radang panggul, adanya riwayat seksual aktif dengan risiko penyakit menular seksual sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti skrining untuk adanya penyakit infeksi menular, pemeriksaan ultrasonografi untuk melihat kelainan patologi pada pelvik dapat mengarahkan kepada diagnosa dismenore sekunder.
Kelainan seperti endometriosis, adenomiosis sering dikaitkan dengan keluhan nyeri haid yang berlebihan.
Rasa nyeri dapat bersifat individual dan subjektif sehingga tidak ada parameter yang dapat digunakan untuk menilai rasa nyeri secara. Beberapa metode dapat digunakan dalam menilai rasa nyeri seperti unidimensi dan multidimensi. Skala Unidimensi merupakan metode sederhana dengan menggunakan satu variabel untuk menilai intensitas rasa nyeri. Metode unidimensi yang biasa dipakai antara lain Categorical Scale, Numerical Ratting Scale (NRS), Visual Analogue Scale (VAS). Metode sederhana ini biasanya digunakan secara efektik di rumah sakit dan klinik. Metode Categorical Scales berisi beberapa deskripsi secara verbal atau visual mengenai nyeri dari yang paling ringan sampai paling berat. Yang termasuk dari Categorical Scale ini antara lain Verbal Descriptor Scale (VDS), Face Pain Scale (FPS) yang menunjukkan gambaran perubahan ekspresi wajah terhadap sensasi rasa nyeri. Sedangkan metode NRS berisi tentang serial angka dari 0 sampai 10 atau 100, dimana pada awal angka diberi label tidak nyeri dan akhir angka sangat nyeri. Pasien akan memilih kriteria nyeri yang sesuai dengan intensitas nyeri yang meraka rasakan. Sedangkan metode VAS berisi garis horizontal atau vertikal sepanjang 10 cm dengan label pada awal 25 garis tidak nyeri dan pada akhir garis sangat nyeri. Pasien akan memberi tanda pada garis tersebut sesuai tingkat nyeri yang mereka rasakan. Panjangnya jarak dari awal garis sampai tanda yang diberikan oleh pasien merupakan indeks derajat nyeri (Berry dkk, 2006).
5. PENATALAKSANAAN
Penanganan dismenore dapat dibagi dalam tiga bagian besar :
a. Farmakologis
Yaitu penanganan dismenore dengan pemberian obat-obatan, suplemen. Obat-obatan yang paling sering digunakan antara lain Non Steroid Anti Inflamation Drug (NSAID) yang bekerja dengan menghambat aktivitas enzim siklooksigenase sehingga produksi dari prostaglandin berkurang. COX –II Inhibitor yang juga bekerja selektif terhadap penghambatan biosintesis prostaglandin juga dapat digunakan untuk menangani nyeri haid. Pemakain kontrasepsi hormonal dilaporkan juga dapat mengurangi nyeri haid. Pemberian Vitamin B1, Magnesium, Vitamin E, juga menunjukkan efek yang dapat mengurangi nyeri haid (dawood, 2006; Lefebvre, 2005; cunningham, 2008).
b. Non-Farmakologis
Penanganan non farmakologi yang dapat digunakan pada wanita yang menderita dismenore antara lain : TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation), Akupunktur, pemakaian herbal, relaksasi, terapi panas, senam (Smith, 2009; Istiqomah, 2009; Lefebvre, 2005).
c. Pembedahan
Terapi pembedahan pada penderita dismenore merupakan pilihan terakhir jika dengan terapi farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil sehingga diperlukannya tindakan pembedahan dalam menangani dismenore. Terapi pembedahan yang dapat dilakukan antara lain : laparoskopi (Laparoscopic Uterine Nerve Ablation), histerektomi, presakral neurektomi (Dawood, 2006; cunningham, 2008; Lefebvre, 2005).
6. PROSTAGLANDIN
Prostaglandin pertama sekali ditemukan oleh Ulf von Euler, seorang ilmuwan dari Swedia pada tahun 1935, dimana prostaglandin di isolasi dari cairan semen yang dihasilkan oleh kelenjar prostat. Namun sekarang diketahui bahwa prostaglandin dihasilkan oleh semua sel berinti diseluruh tubuh.
Prostaglandin merupakan mediator yang sering dikaitkan dengan rasa sakit , demam, inflamasi. Prostaglandin juga berperan dalam kondisi fisiologis termasuk pada sistem reproduksi wanita. Prostaglandin adalah salah satu senyawa eikosanoid yang merupakan turunan dari asam lemak 20- karbon tak jenuh seperti asam arakidonat yang aktif secara fisiologis dan farmakologis.
7. SINTESIS PROSTAGLANDIN
Prostaglandin merupakan autokrin dan parakrin yang dihasilkan oleh hampir semua sel di tubuh manusia. Prostaglandin yang dihasilkan merupakan turunan dari metabolisme asam arakhidonat. Asam arakhidonat dihasilkan dari proses esterifikasi dari asam lemak pada fosfolipid dan juga esterifikasi dari kolesterol (Fritz, et al. 2005).
Sintesis prostaglandin diawali dengan adanya rangsangan baik secara fisik, kimiawi maupun termik seperti terbakar, endotoksin, hipertonik dan hipotonik infus, trombus, katekolamin, bradikinin, angiotensin, dan hormon steroid dapat merusak membran sel sehingga memicu pembentukan asam arakhidonat dari fosfolipid yang terdapat pada membran sel oleh enzim phospholipase (cytosolic PLA2). Asam arakidonat ini selanjutnya akan memasuki lintasan metabolisme siklooksigenase dan lipoksigenase. Asam arakidonat yang memasuki lintasan metabolisme Siklooksigenase akan dikatalisir oleh enzim cyclooxygenase (COX) yang dikenal juga dengan prostaglandin H sintase (PGHS) atau Prostaglandin Endoperoksidase Sintase (PES) yang mempunyai dua aktivitas yaitu siklooksigenase dan peroksidase. Dimana siklooksigenase ini mempunyai dua isoenzim yang dikenal dengan COX-1 dan COX-2. COX-1 dapat merangsang pembentukkan prostasiklin sedangkan COX-2 merupakan respon dari inflamasi, growth factors, sitokin, dan juga endotoksin. Produk yang pertama sekali dihasilkan reaksi enzimatis ini adalah Prostaglandin G2 (PGG2) kemudian akan dimetabolisme menjadi Prostaglandin H2 (PGH2), yang merupakan prekursor terbentuknya senyawa prostanoid seperti Prostaglandin D (PGD2), Prostaglandin E (PGE2), Prostaglandin F (PGF2), Prostasiklin (PGI2) dan Tromboxan (TX2).
Prostaglandin yang disekresikan akan berikatan pada reseptornya yang spesifik yang berada pada target organ yang akan menimbulkan efek yang spesifik pula. Ada beberapa reseptor dari prostaglandin yang dikenal seperti DP, EP1-4, IP, FP, TP merupakan grup dari G Protein Couple Receptor (GPCR) yang masing-masing akan berikatan dengan prostaglandin yang spesifik.
8. PERANAN PROSTAGLANDIN PADA DISMENORE
Selama siklus menstruasi ditemukan peningkatan dari kadar prostaglandin terutama PGF2 dan PGE2. Pada fase proliferrasi konsentrasi kedua prostaglandin ini rendah , namun pada fase sekresi konsentrasi PGF2 lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi PGE2, dimana selama siklus mestruasi konsentrasi PGF2 akan terus meningkat kemudian menurun pada masa implantasi window. Pada beberapa kondisi patologis konsentrasi PGF2 dan PGE2 pada wanita dengan keluhan menorrhagia secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar prostaglandin wanita tanpa adanya gangguan haid. Oleh karena itu baik secara normal maupun pada kondisi patologis prostaglandin mempunyai peranan selama siklus menstruasi.
Diketahui bahwa FP yaitu reseptor PGF 2 banyak ditemukan di myometrium. Dengan adanya PGF2 akan menimbulkan efek vasokontriksi dan meningkatkan kontraktilitas otot uterus. Sehingga dengan semakin lamanya kontraksi otot uterus ditambah adanya efek vasokontriksi akan menurunkan aliran darah ke otot uterus selanjutnya akan menyebabkan iskemik pada otot uterus dan akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Dibuktikan juga dengan pemberian penghambat prostaglandin akan dapat mengurangi rasa nyeri pada saat menstruasi. Begitu juga dengan PGE2, dimana dalam suatu penelitian disebutkan bahwa dengan penambahan PGF2 dan PGE2 akan meningkatkan derajat rasa nyeri saat menstruasi.
Menurut Mayo (1997), ditemukan konsentrasi PGF2α dan PGE2 dalam jumlah yang lebih tinggi pada endometrium dan darah haid pada wanita yang mengalami dismenore. Dimana PGF2α dan PGE2 mempunyai efek yang berlawanan terhadap pembuluh darah yaitu sebagai vasodilator dan vasokonstriktor. Dengan pemberian PGF2α akan menyebabkan peningkatan kontraktilitas otot uterus pada semua fase menstruasi sedangkan PGE2 dapat menghambat kontraktilitas otot uterus.
9. VITAMIN E
Vitamin E adalah salah satu vitamin yang bersifat larut dalam lemak, dan sudah lama dikenal sebagai suatu antioxidan (Regina, 1999). Vitamin E berfungsi dalam mencegah kerusakan sel yang diakibatkan oleh radikal bebas dalam membran sel dan plasma lipoprotein melalui reaksi peroksidasi lipid dari asam lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel (Murray, 2006).
Pertama sekali Vitamin E ditemukan oleh Evans dan Bishop di Universitas California di Berkeley pada tahun 1922, pada saat melakukan penelitian infertilitas pada tikut betina yang diisolasi dari minyak gandum. Aktifitas biologi dari vitamin E dikemukan oleh Machlin sebagai pencegahan dari keadaan defisiensi vitamin E seperti fetal resopsi, muscular dystrophy, encephalomalacia (Traber, 2000).
Vitamin E merupakan sebutan untuk dua kelas molekul yaitu tocoferol dan tocotrienol, dimana ada empat dari masing-masing molekul ini mempunyai struktur molekul yang berbeda-beda (α, β, γ, δ). Α-tocoferol merupakan molekul yang mempunyai aktifitas biologi yang paling besar (Regina, 1999; Murray, 2006). Kata tocoferol itu sendiri diambil dari bahasa Yunani, “tokos” berarti keturunan dan “pherein” yang melahirkan dengan akhiran –ol yang bermakna bahwa molekul ini adalah alkohol (Traber, 2000).
10. METABOLISME VITAMIN E
Vitamin E banyak ditemukan dalam bahan makanan seperti sayuran dan minyak. Vitamin E diabsorbsi di usus dan memasuki sirkulasi bersamaan dengan lemak. Kemudian berikatan dengan kilomikron dan vitamin E akan ditransport dan disimpan di hati. Vitamin E yang tersimpan akan masuk ke plasma dengan berikatan dengan VLDL dan trigliserida. Kemudian bersamaan dengan metabolisme VLDL dan trigliserida, maka Vitamin E juga akan mengalami metabolisme dan berikatan dengan HDL yang kemudian akan sampai ke jaringan. Sehingga secara umum ada tiga rute transport vitamin di plasma :
1. Melalui katabolisme lipoprotein trigliserida dengan diperantarai oleh enzim lipoprotein lipase.
2. Melalui reseptor VLDL
3. Melalui pertukaran vitamin E antara membran lipoprotein yang banyak mengandung vitamin E dengan membran lipoprotein yang sedikit mengandung Vitamin E.
Vitamin E akan dioksidasi menjadi metabolit yang teroksidasi akan dieksresikan melalui kelenjar empedu dan kemudian akan mengalami degradasi di ginjal menjadi asam tokoferol dan keluar bersamaan dengan urin (Traber, 2000).
11. EFEK VITAMIN E TERHADAP BIOSINTESIS PROSTAGLANDIN
Prostagalandin merupakan salah satu produk dari metabolisme asam arakidonat. Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh yang banyak terdapat dalam membran fosfolipid. Sehingga pelepasan asam arakidonat dari membran fosfolipid ini akan memicu sintesis prostaglandin. Pelepasan asam arakidonat dari membran fosfolipid terjadi melalui reaksi enzimatis oleh enzim fosfolipase A2 .
Vitamin E merupakan suatu antioksidan yang dapat menghambat pelepasan asam arakidonat dengan mekanismenya dalam menginhibisi protein kinase C, yang dapat mempengaruhi aktifitas dari enzim fosfolipase A 2 (Ziaei, 2001). Sehingga dengan adanya penghambatan terhadap sintesis asam arakidonat akan mengurangi produksi prostaglandin.
12. VITAMIN E SEBAGAI TERAPI ALTERNATIF DISMENORE
Dengan adanya mekanisme efek dari vitamin E dalam biosintesis prostaglandin, dimana prostaglandin berperan dalam menimbulkan sensasi rasa nyeri, maka vitamin E mempunyai peranan dalam mengurangi rasa nyeri haid. Berdasarkan data meta analisis dikatakan vitamin E dosis rendah < 400 IU dan Vitamin dosis tinggi adalah≥ 400 IU (Miller ER, 2005).
Menurut Ziaei (2001), dalam suatu penelitian dengan pemberian vitamin E 500 IU selama 5 hari, dimulai dari hari kedua sebelum hari haid pertama mempunyai perbedaan bermakna dibandingkan dengan plasebo dalam mengurangi nyeri haid yang diukur diukur dengan visual analog scale. Dilanjutkan dengan penelitan selanjutnya pemberian dengan dosis yang lebih rendah dengan pemberian Vitamin E 200 IU selama dua sampai empat siklus pada 2 hari sebelum haid sampai hari ketiga haid juga ditemukan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok dalam intensitas nyeri haid yang dinilai dengan visual analog scale. (Ziaei, 2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar